Kamis, 10 November 2011
TERBANGLAH TINGGI GARUDAKU
Berbekal kemenangan awal yang meyakinkan yaitu 6-0 melawan kamboja. Keyakinan akan terbangnya tinggi garuda muda adalah hal yang realistis. AYO INDONESIA BISA. Kemungkinan untuk indonesia lolos ke fase knock out terbuka lebar bila kosistensi permainan menyerang serta pertahanan yang solid terus terbangun. Meski tak bisa dipungkiri bahwa lini pertahanan Garuda Muda masih menyisakan keraguan bila menghadapi Tim-tim kuat seperti Thailand, Malaysia, dan Singapura.
Singapura akan menjadi lawan tangguh pertama yang akan dihadapi Indonesia pada cabang olahraga Sepak Bola di SEA GAMES ke 26 ini. Harapan yang tinggi dari seluruh tifosi garuda agar Indonesia menang. Semoga menjadi "Doa" dan "Semangat". AYO INDONESIA BISA .
Akhirnya, Hanya doa dan dukunganlah yang dapat kami berikan kepada kalian para pahlawan bangsa. Semoga hari pahlawan 10 November 2011, dimana penulis menulis tulisan. Bisa menjadikan kalian para pahlawan.. GO Garuda ... GO...
GO... FIght.. WIn...
Selasa, 31 Mei 2011
Wanita Cantik Vs Uang
Seorang gadis muda dan cantik berharap untuk menikahi pria kaya.
Seorang yang bekerja di finansial memberikan balasan yang fantastis.
Seorang gadis muda dan cantik, mengirimkan surat ke sebuah forum terkenal,
dengan judul :
Apa yang harus saya lakukan untuk dapat menikah dengan pria kaya?
Saya akan jujur, tentang apa yang akan coba saya katakan disini.
Tahun ini saya berumur 25 tahun,.Saya sangat cantik, mempunyai selera yang bagus akan gaya .Saya ingin menikahi seorang pria dengan penghasilan minimal US $500ribu/tahun..
Anda mungkin berpikir saya matre, tapi penghasilan $ 1juta/tahun hanya dianggap sebagai kelas menengah di New York . Persyaratan saya tidak tinggi. apakah ada di forum ini
mempunyai penghasilan $500ribu/tahun?
Apa kalian semua sudah menikah?
Yang saya ingin tanyakan: Apa yang harus saya lakukan untuk menikahi orang kaya seperti anda?
Seorang yang bekerja di finansial memberikan balasan yang fantastis.
Seorang gadis muda dan cantik, mengirimkan surat ke sebuah forum terkenal,
dengan judul :
Apa yang harus saya lakukan untuk dapat menikah dengan pria kaya?
Saya akan jujur, tentang apa yang akan coba saya katakan disini.
Tahun ini saya berumur 25 tahun,.Saya sangat cantik, mempunyai selera yang bagus akan gaya .Saya ingin menikahi seorang pria dengan penghasilan minimal US $500ribu/tahun..
Anda mungkin berpikir saya matre, tapi penghasilan $ 1juta/tahun hanya dianggap sebagai kelas menengah di New York . Persyaratan saya tidak tinggi. apakah ada di forum ini
mempunyai penghasilan $500ribu/tahun?
Apa kalian semua sudah menikah?
Yang saya ingin tanyakan: Apa yang harus saya lakukan untuk menikahi orang kaya seperti anda?
Rabu, 25 Mei 2011
Kumpulan Cerpen
Di bawah ini adalah link download cerpen yang ada di cd gamais untuk mahasiswa baru ITB. Semoga dengan membacanya kita bisa mendapatkan inspirasi.
Bidadari Kecil
Anak sepasang Bintang
Annisa
Bila Cinta Harus Memilih
Bait Sendu Abah
Bidadari Kecil
Anak sepasang Bintang
Annisa
Bila Cinta Harus Memilih
Bait Sendu Abah
Jumat, 20 Mei 2011
NILAI SEBUAH HARGA DIRI
Dari ufuk timur semburat merah mulai merayap naik dari balik gumpalan
awan yang gelap. Suasana pagi itu masih diselimuti kabut dingin karena
hujan baru reda beberapa saat. Hawa dingin masuk ke sel kami melalui
celah diantara jeruji besi yang kokoh. Hawanya masih terasa menusuk tulang
sumsumku. Ruangan berukuran 4 x 6 meter persegi yang kami tempati makin
pengap dengan aroma lantainya yang lembab.
Sayup-sayup terdengar azan subuh dari mushola Lembaga Anak Nakal
Tangerang.
awan yang gelap. Suasana pagi itu masih diselimuti kabut dingin karena
hujan baru reda beberapa saat. Hawa dingin masuk ke sel kami melalui
celah diantara jeruji besi yang kokoh. Hawanya masih terasa menusuk tulang
sumsumku. Ruangan berukuran 4 x 6 meter persegi yang kami tempati makin
pengap dengan aroma lantainya yang lembab.
Sayup-sayup terdengar azan subuh dari mushola Lembaga Anak Nakal
Tangerang.
Sepenggal Kisah Emen
By : Islamuda.com
Remaja seumuran Emen dihinggapi pubertas adalah suatu hal yang wajar. Mulai memikirkan enak nggak enaknya sekedar ngobrol dengan kaum hawa. Atau bahkan berhubungan yang lebih serius dengan mereka. Wah, kalo untuk yang satu ini, Si Emen kayaknya harus berpikir panjang kali lebar, kali tinggi, sehingga ketemu luasnya pemikiran tentang itu.
Kalo dihitung-hitung emang nggak ada ruginya khan mencoba untuk
menyunting seorang gadis. Tapi jangan salah, Emen sudah barang pasti
nggak mau ngelakuin yang namanya pacaran. Sebab, selain Emen tahu
adzab dari Allah bagi yang melakukannya, Emen juga ngeh, kalo hidup diisi
dengan pacaran, artinya hidup dalam kepura-puraan. Payah khan, kalo tiap hari kita musti berbohong tentang diri kita dihadapan pacar kita.
Emen ngambil ibrah dari kasus yang dialamin tetangganya, si Sahrul
Gunaguna. Sahrul emang terbilang cowok paling keren di kampungnya,
nggak salah kalo dia diidolain ama remaja puteri yang aktif di pengajian.
Sayang sejuta sayang, dia harus koit dihantam AIDS, sebab pacarnya
Monica Omar Bakrie yang bapaknya Israel, ibunya Amerika itu ternyata
pengidap HIV.
Yo?..kembali ke kisah si Emen tadi. Niatnya untuk mencari pendamping
hidup-mati udah keburu bulat, jadi nggak bisa dibuat segitiga atau persegi
panjang. Artinya, siapa ceweknya, rumahnya dimana, orang tuanya
gimana, berapa usianya, semua info dari intelejen jodoh udah akurat ia
dapatkan.
Hari ke hari, minggu ke minggu, akhirnya sampe juga hari buat nyampein
perasaan hatinya. Hari itu hari Minggu, kebetulan pas ada acara Tabligh di
Masjid Raya. Di sela-sela ramainya jamaah yang menghadiri, Emen yang dari
rumah udah mempersiapkan sepucuk surat, resah dan gelisah. Sampe ada
semut merah yang berbaris di dinding, menatap curiga seakan penuh tanya
?sedang apa disini??..lho??koq?
Sambil menunggu, Emen coba bayangin apa reaksi akhwat?sebutan untuk
cewek aktivis yang berkerudung dan berjilbab?kalo menerima suratnya.
Sontak bayangannya buyar, karena yang dibayangkan ternyata sudah ada
didepannya sambil ditemani temannya.
?Ini proposal yang ukhti pesen, udah saya bikin bersama surat permohonan.
Dan saya juga dapat titipan surat dari someone khusus buat ukhti Siti? kata
Emen, sambil menyodorkan proposal beserta suratnya.
Perasaan lega, plong dan mungkin juga deg-deg plas menggelanyuti si
Emen. Sepulang dari masjid hingga H+ 7, aliran darah Emen terasa berhenti,
mulut terasa terkunci. Apakah ini namanya cinta? Wallahu?alam
Akhirnya?.Tit, tit?tit, SMS diterima: ?srt dr akhi, dah sy jwb di email, from Siti
Nurhayati?. Tanpa pikir panjang, dibukanya email, dan isinya:?
Jawaban atas sebuah risalah: Saudaraku, aku sangat mengerti perasaan
kamu. Tapi aku berharap kamu juga harus ngerti perasaan aku. Sebab aku
sedang belajar memahami perasaan lelaki dari negeri jiran, yang kebetulan
teman satu kantor ayahku disana. Emang kami baru tahap ta?aruf
(perkenalan, red). Tapi sebagai wanita dan calon isteri, tentu aku ingin
kepastian kelangsungan hidup masa depan, dengan hidup serba
berkecukupan. Meski siti tahu calon suami siti orang yang seumuran paman
siti dan bukan orang yang satu harokah (kelompok/jamaah, red) sama kita.
Tapi jodoh khan gak, ngeliat umur dan harokah, khan? Lagian, ayah Siti
banyak berhutang budi pada ayahnya dia selama di Malaysia. Maafkan, Siti
kalo ternyata menyakiti hati kamu. Tapi siti juga nggak mau menyakiti hati
ortu Siti. Afwan. Wassalam??
Gleg..!!! Kali ini rasanya bukan hanya saja darah yang berhenti mengalir, tapi
rasanya jantung ikut berhenti berdetak. Emen?., benar-benar tidak kuasa
menahan rasa kecewa. Buat Siti Nurhayati, Emen hanya bisa berharap,
?smoga kamu bisa bahagia dengan calon suami pilihan orang tuamu?.
Emen tetep yakin bahwa jodoh di tangan Allah, dan nggak musti didapatin
lewat pacaran, seperti layaknya remaja sekarang. Yang katanya cinta,
padahal nafsu yang bicara.
Sumpah, baru kali ini, keliatan ekspresi wajah Emen kalo sedih. Tapi
kesedihannya segera berlalu, sebab dia harus melakukan tugas utamanya,
apalagi kalo bukan melayani umat dengan dakwah. Soal jodoh? Ah?tunggu
episode berikutnya. Perjuangan belum berakhir, Men. Biarlah nggak dapat
Siti Nurhayati, asal dapat Siti Nurhaliza.Eleh-eleh...
Remaja seumuran Emen dihinggapi pubertas adalah suatu hal yang wajar. Mulai memikirkan enak nggak enaknya sekedar ngobrol dengan kaum hawa. Atau bahkan berhubungan yang lebih serius dengan mereka. Wah, kalo untuk yang satu ini, Si Emen kayaknya harus berpikir panjang kali lebar, kali tinggi, sehingga ketemu luasnya pemikiran tentang itu.
Kalo dihitung-hitung emang nggak ada ruginya khan mencoba untuk
menyunting seorang gadis. Tapi jangan salah, Emen sudah barang pasti
nggak mau ngelakuin yang namanya pacaran. Sebab, selain Emen tahu
adzab dari Allah bagi yang melakukannya, Emen juga ngeh, kalo hidup diisi
dengan pacaran, artinya hidup dalam kepura-puraan. Payah khan, kalo tiap hari kita musti berbohong tentang diri kita dihadapan pacar kita.
Emen ngambil ibrah dari kasus yang dialamin tetangganya, si Sahrul
Gunaguna. Sahrul emang terbilang cowok paling keren di kampungnya,
nggak salah kalo dia diidolain ama remaja puteri yang aktif di pengajian.
Sayang sejuta sayang, dia harus koit dihantam AIDS, sebab pacarnya
Monica Omar Bakrie yang bapaknya Israel, ibunya Amerika itu ternyata
pengidap HIV.
Yo?..kembali ke kisah si Emen tadi. Niatnya untuk mencari pendamping
hidup-mati udah keburu bulat, jadi nggak bisa dibuat segitiga atau persegi
panjang. Artinya, siapa ceweknya, rumahnya dimana, orang tuanya
gimana, berapa usianya, semua info dari intelejen jodoh udah akurat ia
dapatkan.
Hari ke hari, minggu ke minggu, akhirnya sampe juga hari buat nyampein
perasaan hatinya. Hari itu hari Minggu, kebetulan pas ada acara Tabligh di
Masjid Raya. Di sela-sela ramainya jamaah yang menghadiri, Emen yang dari
rumah udah mempersiapkan sepucuk surat, resah dan gelisah. Sampe ada
semut merah yang berbaris di dinding, menatap curiga seakan penuh tanya
?sedang apa disini??..lho??koq?
Sambil menunggu, Emen coba bayangin apa reaksi akhwat?sebutan untuk
cewek aktivis yang berkerudung dan berjilbab?kalo menerima suratnya.
Sontak bayangannya buyar, karena yang dibayangkan ternyata sudah ada
didepannya sambil ditemani temannya.
?Ini proposal yang ukhti pesen, udah saya bikin bersama surat permohonan.
Dan saya juga dapat titipan surat dari someone khusus buat ukhti Siti? kata
Emen, sambil menyodorkan proposal beserta suratnya.
Perasaan lega, plong dan mungkin juga deg-deg plas menggelanyuti si
Emen. Sepulang dari masjid hingga H+ 7, aliran darah Emen terasa berhenti,
mulut terasa terkunci. Apakah ini namanya cinta? Wallahu?alam
Akhirnya?.Tit, tit?tit, SMS diterima: ?srt dr akhi, dah sy jwb di email, from Siti
Nurhayati?. Tanpa pikir panjang, dibukanya email, dan isinya:?
Jawaban atas sebuah risalah: Saudaraku, aku sangat mengerti perasaan
kamu. Tapi aku berharap kamu juga harus ngerti perasaan aku. Sebab aku
sedang belajar memahami perasaan lelaki dari negeri jiran, yang kebetulan
teman satu kantor ayahku disana. Emang kami baru tahap ta?aruf
(perkenalan, red). Tapi sebagai wanita dan calon isteri, tentu aku ingin
kepastian kelangsungan hidup masa depan, dengan hidup serba
berkecukupan. Meski siti tahu calon suami siti orang yang seumuran paman
siti dan bukan orang yang satu harokah (kelompok/jamaah, red) sama kita.
Tapi jodoh khan gak, ngeliat umur dan harokah, khan? Lagian, ayah Siti
banyak berhutang budi pada ayahnya dia selama di Malaysia. Maafkan, Siti
kalo ternyata menyakiti hati kamu. Tapi siti juga nggak mau menyakiti hati
ortu Siti. Afwan. Wassalam??
Gleg..!!! Kali ini rasanya bukan hanya saja darah yang berhenti mengalir, tapi
rasanya jantung ikut berhenti berdetak. Emen?., benar-benar tidak kuasa
menahan rasa kecewa. Buat Siti Nurhayati, Emen hanya bisa berharap,
?smoga kamu bisa bahagia dengan calon suami pilihan orang tuamu?.
Emen tetep yakin bahwa jodoh di tangan Allah, dan nggak musti didapatin
lewat pacaran, seperti layaknya remaja sekarang. Yang katanya cinta,
padahal nafsu yang bicara.
Sumpah, baru kali ini, keliatan ekspresi wajah Emen kalo sedih. Tapi
kesedihannya segera berlalu, sebab dia harus melakukan tugas utamanya,
apalagi kalo bukan melayani umat dengan dakwah. Soal jodoh? Ah?tunggu
episode berikutnya. Perjuangan belum berakhir, Men. Biarlah nggak dapat
Siti Nurhayati, asal dapat Siti Nurhaliza.Eleh-eleh...
Rabu, 18 Mei 2011
Pembuatan Baja
Di bawah ini adalah link download pdf yang dipakai pada mata kuliah pembuatan baja di jurusan teknik metalurgi untirta. Semoga bermanfaat
download Standar baja
download BOF
download EAF
download Standar baja
download BOF
download EAF
Minggu, 15 Mei 2011
Jumat, 29 April 2011
Uji Impak ITB
Di bawah ini adalah link download Referensi uji impak. Silahkan download aja kalau perlu...
Impak ITB
Impak ITB
Kamis, 28 April 2011
Selasa, 26 April 2011
Slide Presentasi Hidro
Inilah kumpulan slide presentasi hidro metalurgi. Bila perlu, silahkan didownload.
Slide Presentasi Hidrometalurgi
Semoga Bermanfaat....
Slide Presentasi Hidrometalurgi
Semoga Bermanfaat....
Kamis, 03 Maret 2011
Pengetahuan Lingkungan
Global Warning
Pernyataan di bawah berikut ini mungkin akan membuat kita tersentak sekaligus terbelalak. Ia berbunyi: “Pernyataan pemanasan global itu sungguh nyata cuma omong kosong. Pernyataan itu diulang-ulang oleh para aktivis guna meyakinkan sekaligus menakut-nakuti publik bahwa iklim akan berubah menjadi malapetaka, dan aktivitas manusialah penyebab utamanya.” Kalimat itu diucapkan senator AS dari Partai Republik, James Inhofe, yang juga merupakan Ketua Environment and Public Works Committee Senat AS, setahun lalu.
Pernyataan itu diperkuat lagi dengan pernyataan Direktur NASA Michael Griffin dalam wawancara dengan sebuah radio lokal di AS belum lama ini, yang menunjukkan keraguan sang direktur bahwa pemanasan global adalah tantangan terbesar yang harus diatasi manusia. Dalam wawancara tersebut, salah satu petikan pernyataan Griffin yang kemudian banyak dikutip adalah, “Iklim bumi saat ini adalah iklim yang terbaik yang pernah kita punyai.”
Benarkah pemanasan global sungguh-sungguh merupakan akibat dari ulah manusia yang terlalu rakus mengeksploitasi bumi dan ceroboh menjaga keseimbangan alam? Apakah pemanasan global dan perubahan iklim adalah hal terpenting yang harus diatasi manusia?
Inhofe memaparkan beragam fakta dan kutipan yang mendukung argumennya. Menurutnya, media memainkan peranan penting dalam menggelorakan isu yang tidak benar ini. Ia pun mengungkapkan penelusurannya terhadap laporan beberapa media terkemuka seperti Newsweek, Majalah Time, Harian New York Times, Chicago Tribune, dan juga Jurnal Science News. Didapatinya, media-media tersebut pada era tahun 1900-an justru melaporkan kekhawatiran akan datangnya abad es, bukan pemanasan atau melelehnya es. Hingga periode 1920-1930-an sampai menjelang akhir tahun 1970-an, media-media terkemuka di AS itu masih sangat gencar memberitakan dan melaporkan bahaya perubahan bumi menjadi bola es.
Ia pun melecehkan Protokol Kyoto, sebuah protokol yang ditandatangani oleh sebagian besar negara di kolong bumi ini guna mengurangi emisi gas-gas pembentuk rumah kaca di mana AS menolak menandatanganinya, sebagai kesepakatan dan solusi yang tidak ada artinya dalam rangka mengurangi emisi gas-gas berbahaya ke atmosfir bumi. Menurutnya, cara paling efektif untuk mengurangi gas-gas tersebut adalah penggunaan alat pembersih gas dan teknologi yang lebih efisien untuk menekan gas tersebut bertebaran ke angkasa.
Namun pernyataan Inhofe berbau politis itu tak menyurutkan gerakan global di seluruh dunia bahwa ancaman pemanasan bumi sungguh-sungguh nyata dan harus diperangi dari sekarang oleh semua pihak. Inhofe, politisi dari Partai Republik, sebagaimana halnya Presiden AS George W. Bush yang juga dari Partai Republik, jelas tidak mau kepentingan mereka terusik terusik gara-gara harus menekan emisi gas rumah kaca yang di AS sebagian besar dihasilkan dari pembangkit listrik berenergi fosil (BBM, batubara).
Tak hanya Inhofe dan Bush yang bersikap “bebal” terhadap perubahan iklim. Lebih dari 17 ribu ilmuwan -- dua ribu lebih di antaranya adalah fisikawan, geofisikawan, ahli iklim, ahli meteorologi, dan pakar lingkungan- menandatangani petisi yang diedarkan oleh Oregon Institut of Science and Medicine di AS. Salah satu kalimat dalam petisi itu menyatakan, “Tidak ada bukti-bukti ilmiah bahwa pelepasan gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan gas-gas rumah kaca lainnya yang mengakibatkan pemanasan akut terhadap temperatur bumi dan kerusakan pada iklim bumi.”
Terlepas dari kenyataan dan pernyataan politik yang diungkapkan di atas, fakta-fakta berikut ini berbicara jauh lebih kuat dan nyata, memperlihatkan ke mana arah perubahan iklim di bumi ini akan menuju dan bermuara.
Fakta-fakta
Kita mulai dari yang jauh dengan kita, Laut Arktik. Lautan ini sebagian besar dikenali sebagai samudera es. Ilmuwan yang mengamati perubahan pada lautan es ini mencatat terjadinya peningkatan panas dua kali lebih cepat dibandingkan pemanasan di tingkat global. Sejak tahun 1980, samudera es yang terletak Arktik yang berada di wilayah Eropa telah mencair antara 20-30 persen.
Masih di Eropa, pegunungan Alpens yang tadinya sebagian besar diselubungi salju mengalami kemerosotan deposit salju yang parah. Delapan dari sembilan area gletser/glacier menunjukkan derajat kerusakan yang signifikan dan dalam kurun waktu satu abad sudah kehilangan sepertiga dari wilayah es.
Tidak hanya di Eropa, seluruh dataran tinggi di dunia yang selama ini dikenal memiliki puncak gunung es juga lumer. Salju di puncak gunung tertinggi di Afrika, Kilimanjaro, setiap bulannya meleleh tak kurang dari 300 meter kubik. Gunung yang terletak di Tanzania ini menderita kebotakan salju parah bilamana membandingkan foto udara yang diambil pada tahun 1974, 1990, dan 2001. Dalam periode satu abad pengamatan, salju di puncak gunung itu meleleh hingga mencapai 82%. Bila salju tak lagi betah hinggap di puncak gunung itu, nama gunung itu boleh jadi harus diubah, karena Kilimanjaro dalam bahasa setempat berarti gunung yang putih atau gunung yang bercahaya.
Mari beralih ke kawasan yang melahirkan banyak seniman bola, Amerika Selatan. Salju di negeri-negeri seperti berdataran tinggi seperti Argentina, Peru, Chili juga menurun drastis. Pegunungan Andes, salah satu surga salju di dunia, mengalami pelelehan salju ke arah puncak gunung yang sangat signifikan. Antara tahun 1963 hingga 1978, salju mencair rata-rata 4 meter per tahun, dan sejak tahun 1995 hingga sekarang, pelelehan salju mencapai kecepatan 30,1 meter per tahun di seluruh kawasan yang mengandung glacier. Sementara di Venezuela, negeri penghasil Miss World terbanyak, dari 6 glacier yang dimiliki negeri tersebut pada tahun 1972, kini hanya tersisa dua lagi, dan akan hilang paling lambat 10 tahun sejak sekarang.
Konsekuensi dari melelehnya salju adalah meningkatnya permukaan air laut, pertama-tama di kawasan tersebut. Di negeri bola Brasil, garis pantai yang hilang menjadi lautan rata-rata berkisar 1,8 meter per tahun pada kurun waktu antara 1915 hingga 1950 dan meningkat menjadi 2,4 meter per tahun pada kurun waktu sepuluh tahun antara 1985-1995.
Apa yang terjadi di Asia, juga di Indonesia, akibat pemanasan global? Sama dengan yang terjadi di benua lain, salju-salju di dataran tinggi Asia mengalami pelelehan yang drastis sekaligus dramatis. Himalaya, gunung tertinggi di dunia yang menjadi kantong air beku di “atap langit” terus kehilangan saljunya secara konsisten. Glacier-glacier di Pegunungan Himalaya yang tersebar di negara-negara seperti India, Tibet, Bhutan, China, terdegradasi dengan amat cepat. Tujuh sungai besar di Asia yang bermata air dari Himalaya yakni Gangga, Indus, Brahmaputra, Mekong, Thanlwin, Yangtze, dan Sungai Kuning terancam eksistensinya yang berakibat pada ratusan juta umat manusia di kawasan sepanjang aliran sungai-sungai itu.
Tak hanya di kawasan Asia Selatan, salju di Asia Tengah yang juga terus lenyap satu per satu. Itu terjadi pula di Puncak Jaya, Papua, satu-satunya daerah pegunungan tinggi di Indonesia yang memiliki salju. Bila foto udara pada tahun 1972 memperlihatkan puncak gunung yang hampir seluruhnya diselimuti salju, sekarang puncak gunung itu hanyalah berisi bebatuan dan pepohonan belaka. Artinya, tidak ada lagi salju di sana.
Pelelehan es yang diungkap di atas baru merupakan sebagian dari yang sebenarnya terjadi. Berdasarkan laporan terakhir Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terakhir yang dirilis tahun 2007 ini, 30 salju di pegunungan di seluruh dunia kehilangan ketebalan hingga lebih dari setengah meter hingga tahun 2005 saja. Dua tahun yang terakhir belum masuk dalam laporan tersebut.
Konsekuensi dan Risiko
Karena energi bersifat kekal, salju-salju tadi dengan sendirinya tidak hilang dan hanya berubah bentuk. Ibarat es yang ada dalam sebuah gelas, ketika ia terkena panas dan mencair, volume air itu tidak berkurang atau bertambah, melainkan hanya berubah. Maka, konsekuensi pertama dari meningkatnya suhu bumi yang melelehkan salju dan deposit-deposit air tadi adalah kian bertambahnya air di permukaan bumi. Peningkatan tersebut dapat dideteksi di seluruh penjuru bumi dan dibuktikan melalui sejumlah foto udara yang membandingkan suatu kawasan pada puluhan tahun silam dengan kondisi kontemporer.
Namun, konsekuensi meningkatnya suhu bumi tidaklah sesederhana itu. Perubahan-perubahan ekologis yang terjadi pada lingkungan di mana manusia dan makhluk hidup lainnya hidup membawa dampak yang mengerikan bagi umat manusia. Hukum fisika menyatakan, angin bergerak dari tempat yang dingin ke tempat yang lebih panas. Nah, perbedaan temperatur suatu kawasan dengan kawasan lain yang sangat ekstrem pada waktu bersamaan telah memicu munculnya angin topan, badai, dan tornado menjadi lebih sering dibandingkan beberapa tahun silam. Negara-negara di kawasan Amerika Utara, Tengah, Selatan dan Karibia, Eropa, juga Asia Selatan dan Timur sudah merasakan dampak yang ditimbulkan dari topan badai ini. Topan yang memiliki nama-nama nan indah menerpa warga di seluruh bumi secara memilukan dan sekaligus mematikan.
Arus pergerakan air tidak hanya membawa musibah banjir bandang, tetapi juga disertai tanah longsor akibat penggundulan hutan yang berlangsung setiap menit. Dalam waktu bersamaan, belahan dunia yang satu terancam kekeringan dan kebakaran, tempat lainnya dilanda topan badai, banjir dan tanah longsor yang menyengsarakan ratusan juta umat manusia.
Konsekuensi di Tingkat Lokal
Kekeringan di daerah Gunung Kidul misalnya, mungkin saja sudah menjadi fakta jamak yang berlangsung setiap tahun dan sudah sejak puluhan tahun hal itu terjadi. Akan tetapi, kesulitan air yang dialami oleh warga di lereng Gunung Merapi lima tahun terakhir ini misalnya, tentu sebuah fakta baru yang menunjukkan betapa air makin sulit didapat.
Kesulitan para petani sayuran di lereng Gunung Merbabu misalnya, juga sesuatu yang masih terdengar asing. Grojogan Sewu memang masih menumpahkan airnya. Tetapi dibandingkan lima belas tahun silam misalnya, grojogan itu sekarang telah berubah menjadi tak lebih dari pancuran. Beberapa puluh tahun yang akan datang, boleh jadi ia tinggal menjadi tetesan saja.
Itu baru dari sisi kelangkaan air. Dari sisi perubahan iklim, semua kota dan wilayah di Indonesia menjadi korbannya. Di Jawa bagian tengah misalnya, Kaliurang di Jogjakarta, Tawangmangu di Karanganyar, atau Bandungan di Semarang, sekarang bukan lagi didatangi wisatawan karena udaranya yang sejuk dan dingin, tetapi karena kelatahan dan cap yang terlanjut melekat sebagai daerah wisata. Itu saja. Dahulu, di daerah-daerah tersebut kabut dingin senantiasa turun setiap pagi sepanjang tahun. Sekarang, ia hanya bisa dijumpai beberapa kali sepanjang tahun, itupun sangat tergantung dari musim.
Di Puncak Jaya, Papua, salju tidak lagi hinggap di puncaknya sejak beberapa tahun silam. Ini menandai era berakhirnya eksistensi satu-satunya kawasan bersalju di Indonesia. Dan ini sekaligus membuktikan, bahwa bumi yang makin panas bukanlah fakta gombal melainkan kenyataan aktual.
Ironisnya, dalam situasi udara yang makin panas, orang lalu mencari cara untuk mendinginkannya, tetapi hanya untuk diri mereka sendiri. Pendingin udara adalah pilihan pragmatis untuk ini, tetapi alat inipun hanya bisa dijangkau oleh lapisan masyarakat golongan menengah ke atas. Masyarakat miskin jelas tak bisa mengelak dari kegerahan.
Ironisnya, penggunaan pendingin udara yang makin masif dan intensif pada sebagian besar rumah tangga di perkotaan secara akumulatif justru mendorong terciptanya bumi yang makin panas akibat gas-gas yang dihasilkan oleh pendingin udara tersebut tidak ramah lingkungan. Sudah begitu, penggunaan pendingin udara yang intensif itu juga memicu meningkatnya kebutuhan listrik yang terus membesar –yang lagi-lagi ironisnya— sementara listrik tersebut diproduksi dengan menggunakan bahan bakar fosil yang tak ramah terhadap lingkungan dan memberi kontribusi terbesar pada pemanasan secara global.
Lingkaran setan ini jelas menggiring masyarakat yang paling miskin dan tak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi yang memadai menjadi korban. Jumlah masyarakat yang kian tersisih dari lingkaran ini niscaya akan terus membesar karena perseteruan dan kata sepakat tentang upaya kongkret memerangi perubahan iklim ini mengalami kebuntuan yang akut.
http://rovicky.wordpress.com/2007/12/15/global-warming-ngga-bisa-dicegah/
Not fight to it, but how we adapt to it“
Sebagai seorang geologist, aku ini masih sulit menerima bahwa fenomena global warming ini dapat “dicegah“. Saya kok yakin bahwa global warming ini lebih bersifat natural ketimbang “man made“. Walaupun begitu bukan berarti bahwa emisi karbon itu tidak berbahaya loo. Emisi karbon hanyalah bersifat polutan, artinya emisi karbon dari cerobong, maupun dari knalpot dan sebagainya, itu jelas “menganggu” dan mempengaruhi kenyamanan. Dalam skala kecil misalnya kalau kita berada pada satu kota yang pengap dengan asap kenalpot, maka kita akan merasakan udara semakin terasa panas. Tetapi panas ini disebabkan oleh sifat-sifat asap yang menghambat penghantaran panas.
Prose pemanasan dan pendinginan global terjadi sejak dulu.
Suhu bumi rata-rata sejak jutaan tahun lalu
Yang saya takutkan adalah kalau kita menganggap bahwa kalau manusia berhasil mengurangi emisi sampai nol maka diharapkan pasti pemanasan global dapat distop. Ini yang aku khawatirkan.
Karena kalau ini yang ada didalam benak manusia, maka secara naluriah manusia akan mati-matian memerangi pengurangan emsisi gas buang karena dianggap sebagai “musuh utama” atau “penyebab utama” dari fenomena global warming. Sehingga setiap usaha riil (fisik) serta olah otak (berdikusi, konperensi, seminar dll), akan ditargetkan dalam menghadapi global warming hanyalah ke arah pengurangan emisi ini saja.
Lah seandainya global warming itu merupakan kejadian alam biasa (hanya sebuah siklus panjang), seperti yang terlihat disebelah kiri ini. Maka kita (manusia) harus mempersiapkan segala sesuatu demi menghadapi pemanasan global ini. Persiapan menghadapi pemanasan global ini mirip kalau akan menghadapi musim tahunan saja.
Tetapi kali ini kita akan menghadapi perubahan iklim yang siklusnya mungkin ribuan tahun, jutaan tahun. Global warming-cooling bukanlah siklus satu tahunan saja. Gambar fluktuasi muka air laut disebelah ini, merupakan salah satu manifestasi dari global warming-cooling yang terekspressi pada naik-turunnya muka air laut. Perhatikan bahwa sepanjang hidupnya tinggi muka air laut lebihsering lebih tinggi dari ketinggiannya saat ini.
Bisnis Global Warning
Yang lebih parah lagi kalau global warming-cooling yang menurutku belum pasti akibat manusia ini dibisniskan.
Misalnya dengan salah satunya jual beli carbon emisi, seolah jual beli sesuatu yang tidak ada gunanya. Juga adanya pinjaman utang Bank Dunia atau IMF utk mengatasi penggundulan hutan dll, yang seharusnya tidak diperlukan. Semua ini bisa saja nantinya dianggap sebagai jebakan dari negara adidaya dan super power, serta negara maju yang selama ini memakai carbon seenaknya. Dan menjerat hutang ke negara miskin.
So … kalau ada pemikiran STOP GLOBAL WARMING … aku kok malah gedeg-gedeg sendiri. Jangan-jangan kita ini masuk ke Problema Columbus, dimana ada yang takut kecemplung pinggiran laut karena dikira laut itu seperti meja ! Ketakutan kita pada global warming semestinya bukanlah diantisipasi dengan mengutamakan pencegahan pemanfaatan sumberdaya (energi).
Polusi dan eksploitasi sumberdaya alam
Polusi memang sangat menganggu, tetapi polusi ini menganggukenyamanan lokal. Polusi tidak hanya asap, polusi dapat juga polusi bahan-bahan radioaktif. Juga polusi bahan beracun akibat aktifitas manusia. Ini tentusaja tetap harus diperangi, namun bukan dalam semangat mengantisipasi global warming.
Demikian juga eksploitasi sumberdaya alam. Pemanfaatan hutan, pemanfaatan air, pemanfaatan minyak bumi, pemanfaatan gas, tambang emas, batubara dan lain-lain memang harus dikelola dengan benar. Tetapi sekali lagi bukan dengan semangat untuk mencegah atau menyetop global warming. Pemanfaatan ini dapat saja dikaitkan dengan global warming dalam artian, bagaimana kita mengantisipasi kedatangannya. Bagaimana kita mengelola air dimasa bumi semakin panas, bagaimana memanfaatkan listrik dengan baik untuk mengatisipasi suhu yang tinggi. Juga seperti apa seharusnya memanfaatkan hutan supaya tidak menganggu ketika terjadi kebakaran dsb.
“Not fight to it, but how we adapt to it“
Mitigasi Global Warming
Global warming bukan untuk dikurangi, dicegah, atau bahkan distop. Tetapi global warning ini harus diantisipasi bagaimana menghadapinya. Lebih tepatnya kita harus me-mitigasi global warning ini, mirip seperti melakukan mitigasi untuk sebuah gempa. Kita tidak mungkin mencegahnya walaupun kita meneliti dan menganalisanya, bahkan mencoba meramalkannya.
http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=67
• 10/04/2008
Mengenal Lebih Jauh Tentang Pemanasan Global
Pendahuluan
Tulisan halaman ini dibuat berdasarkan ikhtisar pendek dari laporan tahun 2001
yang dibuat oleh Kelompok Diskusi Antar-negara Mengenai Perubahan Iklim dan
laporan tahun 2001 dari Badan Riset Nasional mengenai Pengetahuan mengenai
Perubahan Iklim: Sebuah Analisis tentang Beberapa Pertanyaan Kunci, juga
sumber-sumber data dari NCDC sendiri. Tulisan ini dibuat oleh David Easterling
dan Tom Karl, dari Pusat Data Iklim Nasional, Asheville, N.C. 28801.
Salah satu topik yang paling hangat diperdebatkan di dunia adalah masalah
perubahan iklim, dan pusat-pusat data dari Layanan Satelit, Data dan Informasi
Lingkungan Nasional (National Environmental Satellite, Data, and Information
Service – NESDIS) merupakan pusat untuk menjawab beberapa pertanyaan yang paling
mendesak yang masih saja belum bisa dijelaskan mengenai perubahan cuaca. Pusat
Data Iklim Nasional memiliki catatan-catatan pendukung yang dapat secara tepat
menjabarkan sifat-sifat alami fluktuasi iklim dalam jangka waktu hingga satu
abad lamanya. Berbagai jenis variasi data yang disumbangkan pada NCDC berasal
dari: Kapal-kapal, pelampung, stasiun cuaca, balon cuaca, satelit, dan pesawat
udara. Pusat Data Oseanografis Nasional (National Oceanographic Data Center)
memiliki data bawah laut yang dapat mengungkapkan bagaimana cara panas
didistribusikan dan diredistribusikan kembali di sekeliling planet ini.
Dengan mengetahui bagaimana perubahan yang tengah dialami dan telah dialami oleh
sistem ini di masa lalu, sangat penting untuk dapat memahami bagaimana perubahan
yang akan dialami di masa mendatang. Dan, untuk mendapatkan informasi mengenai
iklim yang berlangsung selama ratusan hingga ribuan tahun, program
paleoklimatologi, yang juga ada di Pusat Data Iklim Nasional, dapat membantu
untuk menghadirkan sudut pandang dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Secara internasional, Kelompok Diskusi Antar-negara Mengenai Perubahan Iklim
(Intergovernmental Panel on Climate Change – IPCC), yang berada di bawah naungan
PBB, Organisasi Meterologi Dunia (World Meteorological Organization – WMO), dan
Program Lingkungan PBB (United Nations Environment Program – UNEP), adalah badan
paling tua dan paling memiliki otoritas untuk menyediakan nasihat-nasihat ilmiah
pada para pembuat kebijakan secara global. IPCC mengadakan pertemuan lengkap
pada tahun 1990, 1995, dan 2001. Mereka membahas isu-isu seperti meningkatnya
gas yang dihasilkan oleh efek rumah kaca, bukti-bukti, penyebab, dan prediksi
mengenai perubahan iklim, akibat dari perubahan iklim, dan pilihan-pilihan
kebijakan.
Di bawah ini terdapat sejumlah pertanyaan yang biasa diajukan pada para peneliti
iklim, dan jawaban-jawaban pendek (berdasarkan laporan dari IPCC dan riset yang
lainnya) dalam bahasa awam yang mudah dipahami. Daftar ini akan diperbarui
secara periodik, bila ada bukti-bukti ilmiah baru yang ditemukan.
Apakah yang dimaksud dengan efek rumah kaca, dan apakah
efek rumah kaca dapat mempengaruhi iklim kita?
Efek rumah kaca adalah suatu hal yang kebenarannya tidak
diragukan lagi dan efek ini membantu mengatur suhu di planet kita. Efek ini
penting bagi kehidupan di Bumi dan merupakan salah satu proses alami yang
terjadi di Bumi. Efek rumah kaca merupakan hasil dari penyerapan energi oleh
gas-gas tertentu yang terdapat di atmosfer (disebut gas rumah kaca karena
gas-gas ini secara efektif ‘menangkap’ panas yang terdapat di atmosfer bagian
bawah) dan meradiasikan kembali sebagian dari panas tersebut ke bawah.
Uap air adalah unsur terbanyak yang terdapat dalam gas rumah kaca, diikuti oleh
karbon dioksida dan gas-gas lainnya. Tanpa adanya efek rumah kaca yang alami,
suhu di permukaan bumi akan berada pada angka no derajat F (-18˚C) bukan seperti
suhu saat ini yaitu 57˚F (14˚C). Jadi, kekhawatiran bukan terletak pada fakta
tentang adanya efek rumah kaca, namun apakah aktivitas manusia menyebabkan
terjadinya peningkatan efek rumah kaca ini.
Apakah jumlah gas yang dihasilkan efek rumah kaca terus
meningkat jumlahnya?
Aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi gas rumah
kaca dalam atmosfer (sebagian besar berupa karbon dioksida yang berasal dari
pembakaran batu bara, minyak, dan gas; ditambah gas-gas lainnya). Tidak ada
debat ilmiah mengenai hal ini. Tingkat karbon dioksida sebelum masa industri (sebelum
Revolusi Industri dimulai) adalam sekitar 280 ppmv, dan tingkat karbon dioksida
saat ini adalam sekitar 370 ppmv. Konsentrasi CO2 dalam atmosfer kita saat ini,
belum pernah meningkat selama 420.000 tahun, dan kemungkinan besar tidak akan
berubah dalam 20 juta tahun terakhir. Berdasarkan laporan khusus dari IPCC
mengenai skenario emisi (Special Report on Emission Scenarios –SRES), di akhir
abad ke 21, kita bisa melihat adanya konsentrasi karbon dioksida sebesar 490 –
1260 ppm (75 – 350% di atas angka konsentrasi di masa pra industri.
Apakah Iklim menjadi semakin panas?
Ya. Temperatur permukaan secara global
meningkat sebesar kurang lebih 0.6°C (kurang atau lebih 0.2°C) sejak akhir abad
19, dan sekitar 0.4°F (0.2 hingga 0.3°C) sepanjang 25 tahun terakhir (periode
ini memiliki data yang paling akurat). Pemananasan bukanlah sesuatu yang seragam
secara global. Beberapa wilayah (termasuk sebagian dari Amerika Serikat bagian
tenggara), pada kenyataannya, menjadi semakin dingin sepanjang satu abad
terakhir. Peningkatan panas paling besar dialami oleh
Amerika Utara dan Eurasia di antara 40 dan 70°LU. Pemanasan, yang dibantu dengan
adanya catatan El Niño sepanjang tahun 1997-1998, dan terus meningkat hingga
saat ini, dimana tahun 2001 menjadi tahun terpanas kedua setelah tahun 1998.
Trend secara linear dapat sangat bervariasi tergantung pada periode saat
penghitungan. Trend suhu pada atmosfer bagian bawah (di antara 2.500 dan 26.000
kaki) dari tahun 1979 hingga saat ini, merupakan sebuah periode dimana terdapata
unit data dari Microwave Satellite, sangatlah kecil dan mungkin tidak
representatif untuk mewakili tren dengan masa yang lebih panjang dan trend yang
lebih dekat dengan permukaan. Lebih jauh lagi ada perbedaan kecil yang belum
dapat di diperbaiki du abtara radiosonde dan observasi satelit mengenai
temperatur di troposfer, meskipun kedua sumber data tersebut menunjukkan sedikit
adanya tred pemanasan.
Bila kita melakukan kalkulasi terhadap tren berdasarkan data radiosonde yang
mulai dicatat sejak tahun 1950an, terlihat pemanasan yang sedikit lebih tinggi
dalam catatannya karena adanya peningkatan di tahun 1970an. Ada alasan-alasan
fisik dan statistik (misalnya, masa pencatatan yang terlalu pendek, perbedaan
efek sementara terhadap aktivitas vulkanis dan El Niño, serta efek-efek lapisan
perbatasan) sehingga kita bisa melihat perbedaan di antara tren yang terjadi
baru-baru ini pada suhu di lapisan troposfer bagian permukaan dan di bagian
bawah, namun alasan-alasan pasti tentang terjadinya perbedaan ini masih terus
diselidiki (lihat laporan Badan Riset Nasional “Merekonsiliasi Hasil Observasi
terhadap Perubahan Iklim secara Global”).
Sebuah efek rumah kaca yang diperkuat diperkirakan menyebabkan terjadinya
pendinginan di bagian atmosfer yang lebih tinggi karena adanya peningkatan efek
“selimut” di bagian bawah atmosfer menyimpan panas yang lebih banyak,
menyebabkan lebih sedikit panas yang dapat mencapai atmosfer bagian atas.
Pendinginan di stratosfer bagian bawah (sekitar 49.000 – 79.500 kaki) sejak
tahun 1979 ditunjukkan oleh data dari Unit Microwave Sounding dan data
radiosonde, namun angka lebih besar ditunjukkan oleh data radiosonde.
Suhu permukaan dan troposfer yang relatif lebih dingin, dan suhu stratosfer
bagian bawah yang relatif lebih hangat, diamati pada tahun 1992 dan 1993,
menyusul meletusnya Gunung Pinatubo pada tahun 1991. Pemanasan muncul kembali
pada tahun 1994. Sebuah pemanasan secara global yang dramatis, setidaknya
sebagian dihubungkan dengan adanya catatan El Niño, terjadi pada tahun 1998.
Episode pemanasan ini direfleksikan dari permukaan hingga di bagian atas
troposfer.
Ada kecenderungan secara umum, namun bukan kecenderungan global, terhadap
pengurangan diurnal temperature range (DTR), (perbedaan tinggi rendahnya
temperatur harian) di sekitar 50% dari wilayah daratan secara global sejak
pertengahan abad 20. Liputan awan semakin meningkat di banyak wilayah sementara
DTR semakin berkurang. Tren positif secara keseluruhan untuk suhu harian
maksimum sepanjang masa pengamatan (1950-1993) adalah 0.1°C/dekade, sementara
tren untuk suhu minimum harian adalah 0.2°C/dekade. Hasil ini merupakan gambaran
tren negatif dalam DTR yaitu -0.1°C/dekade.
Indikator tidak langsung atas terjadinya pemanasan seperti temperatur yang
semakin panas, lapisan es, dan data berkurangnya sungai es (glacier), secara
substansial mendukung data lain yang lebih langsung mengenai suhu yang semakin
memanas belakangan ini. Bukti-bukti seperti perubahan panjang sungai es, sangat
berguna karena tidak hanya memberikan dukungan kualitatif terhadap data
meteorologi yang sudah ada, namun sungai es terkadang berada di tempat-tempat
yang terlalu terpencil untuk dapat mendukung stasiun-stasiun meteorologi,
catatan makin bertambah atau berkurangnya sungai es seringkali jauh lebih
panjang daripada apa yang tercatat di stasiun cuaca, dan sungai es biasanya
berada pada ketinggian yang lebih jauh lebih tinggi sehingga stasiun cuaca dapat
memberikan kita lebih banyak data mengenai perubahan di tempat-tempat yang lebih
tinggi di atmosfer.
Pengukuran dalam skala besar terhadap lautan es hanya dapat dilakukan pada era
satelit, namun dengan melihat pada angka-angka yang terdapat pada perkiraan
berbagai satelit yang berbeda, kita dapat melihat bahwa wilayah Samudera Arktik
mengalami pengurangan antara tahun 1973 dan 1996 dengan kecepatan -2.8 +/-
0.3%/dekade. Meskipun hal ini kelihatannya berhubungan dengan peningkatan suhu
secara umum pada periode yang sama, ada banyak siklus-kuasi dinamika atmosfer
(misalnya Arctic Oscillation) yang juga dapat mempengaruhi ketebalan lautan es
di Arktik. Lautan es di Antartika menunjukkan sedikit sekali tren pada periode
yang sama, atau bahkan mengalami sedikit peningkatan sejak tahun 1979. Meskipun
catatan mengenai lautan es di Antartika di tahun-tahun yang lampau sangat sulit
untuk didapatkan karena tidak adanya pengamatan secara langsung di belahan bumi
ini.
Apakah El Niño berhubungan dengan
pemanasan global?
El Niño bukan disebabkan oleh pemanasan
global. Bukti-bukti yang didapatkan dari berbagai sumber (termasuk penelitian
arkeologi) memperlihatkan bahwa El Niño sudah ada selama beratus-ratus tahun,
bahkan ada indikator yang menyebutkan kemungkinan keberadaannya selama jutaan
tahun.
Namun diperkirakan bahwa suhu permukaan laut yang semakin hangat dapat
memperkuat fenomena El Niño, dan benar juga bahwa El Niño terjadi lebih sering
dan lebih dasyat dalam beberapa dekade belakangan ini. Hasil percobaan model
iklim yang merupakan simulasi dari abad 21 dengan peningkatan gas-gas rumah kaca
menunjukkan bahwa pola suhu permukaan laut yang mirip seperti El Niño di
Samudera Pasifik bagian tropis kemungkinan akan lebih kuat.
Apakah terjadi perubahan pada siklus hidrologis (penguapan
dan curah hujan)?
Secara umum, curah di daratan di seluruh dunia meningkat
sekitar ~2% sejak tahun 1900, namun demikian, perubahan curah hujan terjadi
secara bervariasi selama seabad belakangan ini. Catatan instrumental menunjukkan
bahwa ada peningkatan secara umum pada curah hujan sebesar sekitar 0.5-1.0%/dekade
pada daratan di wilayah utara dengan ketinggian menengah ke atas, kecuali
sebagian Rusia bagian timur. Namun demikian, ada penurunan sekitar -0.3%/dekade
pada curah hujan yang terjadi sepanjang abad 20 di wilayah daratan yang berada
pada ketinggian sub-tropis, meskipun tren ini semakin melemah pada dekade-dekade
belakangan ini.
Karena adanya kesulitan dalam mengukur curah hujan, penting sekali untuk
memberikan dukungan data terhadap pengamatan ini dengan menganalisis variabel
lain yang berhubungan. Perubahan yang dapat diukur pada curah hujan akan secara
konsisten sama dengan perubahan pada aliran arus, tinggi danau, dan kelembaban
tanah (dimana data bisa dilihat dan telah dianalisis).
Luas lapisan es di Wilayah Kutub Utara yang diukur setiap tahunnya secara
konsisten berada di bawah rata-rata sejak tahun 1987, dan mengalami penurunan
sekitar 10% sejak tahun 1966. Hal ini sebagian besar terjadi karena berkurangnya
hujan salju pada musim semi dan musim panas di wilayah Eurasia dan Amerika Utara
sejak pertengahan 1980an. Namun demikian, lapisan salju di musim hujan dan musim
gugur menunjukkan tidak adanya tren yang signifikan di wilayah kutub utara pada
periode yang sama.
Data satelit yang semakin bagus menunjukkan bahwa tren umum peningkatan jumlah
liputan awan bak di daratan maupun lautan sejak awal 1980an, mengalami penurunan
pada awal 1990an, dan jumlah total liputan awan di daratan dan lautan saat ini
kelihatannya semakin berkurang. Namun demikian, ada beberapa penelitian yang
menunjukkan ketebalan awan secara regional, mungkin terutama pada awan-awan
hujan yang tebal, mengalami peningkatan pada abad 20.
Apakah terjadi perubahan pada sirkulasi
atmosfer/lautan?
Sebuah perubahan yang agak tiba-tiba pada
perilaku El Niño – South Oscillation terjadi pada sekitar tahun 1976/77 dan
perilaku ini terus berlangsung hingga sekarang. El Niño lebih sering terjadi dan
lebih dasyat daripada La Niña yang lebih dingin. Perilaku yang sangat di luar
kebiasaan terjadi dalam 120 tahun terakhir (periode dimana terdapat catatan
instrumental). Perubahan pada curah hujan di wilayah Pasifik tropis berhubungan
dengan perubahan pada El Niño – South Oscillation, yang juga mempengaruhi pola
dan kekuatan temperatur di permukaan. Namun demikian, tidak jelas apakan
perubahan yang jelas sekali terlihat pada siklus ENSO ini disebabkan oleh
pemanasan secara global.
Apakah terjadi perubahan iklim yang lebih ekstrem dan
lebih bervariasi?
Dalam skala global hanya ada sedikit bukti adanya tren
panjang dalam ekstrimitas dan variabilitas iklim. Ini mungkin menunjukkan adanya
ketidak cukupan data dan analisis. Namun demikian dalam skala regional, ada
bukti yang jelas adanya perubahan pada variabilitas dan ekstrimitas. Di
wilayah-wilayah dimana terjadi kekeringan atau musim penghujan yang
berkepanjangan biasanya diikuti adanya El Niño, kekeringan atau kebasahan ini
biasanya terasa lebih intense pada tahun-tahun belakangan. Di luar wilayah ini,
hanya sedikit bukti yang tersedia mengenai perubahan pada frekuensi atau
intensitas kekeringan.
Di beberapa wilayah dimana secara keseluruhan curah hujan mengalami peningkatan
(misalnya, di wilayah utara dengan ketinggian menengah hingga tinggi), ada bukti
mengenai peningkatan terjadinya curah hujan yang lebih lebat dan lebih ekstrim.
Bahwa di wilayah-wilayah seperti Asia selatan, ditemukan peningkatan jumlah
curah hujan yang ekstrim meskipun secara total curah hujan tetap konstan atau
bahkan terjadi penurunan. Hal ini berhubungan dengan penurunan pada frekuensi
curah hujan di wilayah ini.
Banyak penelitian individual di berbagai wilayah yang menunjukkan bahwa
aktivitas siklon ekstra tropis kelihatannya mengalami peningkatan sepangjang
pertengahan abad 20 di kutub utara, namun mengalami penurunan di wilayah kutub
selatan. Tidak jelas apakah tren ini merupakan fluktuasi multi-dekade atau
bagian dari tren yang lebih panjang lagi.
Menurut data yang terpercaya, frekuensi dan intensitas badai tropis tidak
menunjukkan adanya tren jangka panjang yang signifikan di basin manapun.
Kelihatannya sedang terjadi fluktuasi dekade-interdekade, namun tidak ada data
yang secara konsklusif menunjukkan adanya komponen termin yang lebih panjang.
Ekstrimitas suhu secara global tidak menunjukkan adanya tren yang signifikan
dalam variabilitas dari tahun ke tahun, namun beberapa penelitian menunjukkan
adanya penurunan signifikan pada variabilitas dalam satu tahun. Ada tren yang
lebih jelas menurunnya suhu rendah minimum pada beberapa wilayah yang berjauhan
dalam beberapa dekade belakangan. Perubahan signifikan tentang suhu tinggi
ekstrim yang tersebar di beberapa wilayah yang berjauhan tidak diamati. Ada
beberapa indikasi adanya penurunan variabilitas suhu harian di beberapa dekade
belakangan.
Seberapa pentingnya perubahan-perubahan ini dalam konteks
jangka panjang?
Data paleoklimatik sangat penting untuk membuat kita dapat
memperluas pengetahuan mengenai variabilitas iklim di luar apa yang telah diukur
oleh peralatan modern. Banyak fenomena alamiah yang sangat bergantung pada iklim
(seperti misalnya tingkat pertumbuhan sebuah pohon), dan sebagainya, menyediakan
‘catatan’ alamiah mengenai informasi iklim. Beberapa data paleoklimatik dapat
ditemukan pada berbagai sumber seperti lingkaran pada pohon, inti es,
batu-batuan, sedimentasi pada danau (termasuk fosil serangga dan data pollen),
speleothems (skalaktit dan sebagainya), dan sedimentasi laut.
Beberapa data ini, termasuk inti es dan lingkaran pada pohon memberikan juga
sebuah catatan kronologis mengenai bagaimana mereka terbentuk secara alami, dan
sehingga rekonstruksi iklim yang beresolusi tinggi dapat dilakukan berdasarkan
catatan-catatan ini. Namun demikian, tidak ada ‘jaringan’ yang komprehensif pada
data paleoklimatik seperti yang ada pada data liputan instrumental, sehingga
rekonstruksi iklim secara global seringkali sulit untuk didapatkan. Namun,
menggabungkan catatan-catatan berbagai tipe paleoklimatik yang berbeda bisa
membuat kita mengembangkan sebuah gambaran yang hampir global mengenai perubahan
iklim di masa lalu.
Untuk suhu musim panas di Kutub Utara, beberapa dekade terakhir kelihatannya
adalah suhu terhangat sejak setidaknya 1000M, dan pemanasan sejak akhir abad 19
belum pernah terjadi dalam 1000 tahun terakhir. Data yang lebih tua tidak cukup
untuk memberikan estimasi suhu wilayah yang akurat. Data pada inti es
menunjukkan bahwa pada abad 20 suhu cukup hangat di berbagai belahan dunia,
namun juga pentingnya pemanasan berbeda secara geografis, bila dilihat dalam
konteks variasi iklim pada milenium terakhir.
Perubahan yang besar dan cepat pada iklim mengubah sirkulasi atmosfer dan lautan
serta suhu, dan juga siklus hidrologis, terjadi sepanjang jaman es terakhir dan
sepanjang masa transisi menuju periode Holocene (yang terjadi sekitar 10.000
tahun yang lalu). Berdasarkan bukti tidak lengkap yang ada, perubahan
diproyeksikan akan berubah dari 3 hingga 7°F (1,5 - 4°C) sepanjang abad yang
akan datang akan menjadi sesuatu yang luar biasa dibandingkan dengan catatan
terbaik yang ada dari beberapa ribu tahun yang lalu.
Apakah terjadi peningkatan pada tinggi
permukaan laut?
Secara global tinggi permukaan laut mengalami
peningkatan sebesar 1 hingga 2 mm/tahun sepanjang 100 tahun terakhir, yang
secara signifikan merupakan angka yang lebih besar dibandingkan dengan angka
rata-rata sepanjang beberapa ribu tahun belakangan. Proyeksi peningkatan dari
tahun 1990-2100 adalah sebesar 0,09-0,88 meter, bergantung pada skenario rumah
kaca mana yang digunakan dan berbagai ketidak pastian secara fisik yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tinggi permukaan laut dari berbagai sumber
air baik yang beku maupun tidak beku.
Apakah perubahan yang telah diamati dapat
dijelaskan menggunakan dengan faktor variabilitas alami?
Karena sistem iklim kita secara fundamental didorong oleh
adanya energi dari matahari, maka bisa dipastikan bahwa bila energi matahari
mengalami perubahan, maka iklim juga akan mengalami perubahan. Sejak adanya
pengukuran melalu media luar angkasa pada akhir tahun 1970an, energi yang keluar
dari matahari memang menunjukkan adanya variasi. Kelihatan ini merupakan
penegasan dari dugaan sebelumnya mengenai adanya siklus 11 (dan 22) tahun
radiasi.
Namun, dengan hanya 20 tahun pengukuran yang akurat, sulit untuk menyimpulkan
sebuah tren. Akan tetapi, dari catatan pendek yang kita miliki sejauh ini, tren
iradiasi matahari diperkirakan sekitar ~0,09 W/m2 dibandingkan dengan 0.4 W/m2
dari gas rumah kaca yang tercampur dengan baik. Ada banyak indikasi bahwa
matahari juga memiliki variasi dengan periode lebih panjang yang berpotensi
menyebabkan tingkat yang lebih tinggi dalam skala abad. Namun, ada juga ketidak
pastian yang cukup besar dalam memperkirakan iradiasi matahari di luar apa yang
dapat diukur oleh satelit, dan kontribusi dari iradiasi matahari secara langsung
lebih kecil daripada komponen dari efek rumah kaca. Kita masih harus membentuk
pengertian kita mengenai mekanisme alami yang menjadi kunci dari mekanisme iklim,
termasuk juga perubahan iradiasi matahari, untuk mengurangi ketidakpastian dalam
proyeksi kita dalam perubahan iklim di masa datang.
Sebagai tambahan selain perubahan energi dari matahari sendiri, posisi bumi dan
orientasi relatif terhadap matahari (orbit kita) juga sedikit bervariasi,
sehingga membawa kita lebih dekat atau lebih jauh dari matahari dengan siklus
yang dapat diduga (disebut siklus Milankovitch). Variasi dari siklus-siklus ini
dipercaya menjadi penyebab terjadinya jaman es di bumi. Yang paling penting
untuk terjadinya pembekuan (glasial) ada penerimaan radiasi di lintang utara
bagian atas.
Berkurangnya radiasi di bagian ini pada bulan-bulan musim panas menyebabkan
salju dan es tetap tertutup sepanjang tahun, sehingga pada akhirnya menyebabkan
timbulnya es yang permanen – atau batu es. Meskipun siklus Milankovitch
merupakan sesuatu yang sangat berharga sebagai suatu teori yang menjelaskan
terjadinya jaman es dan perubahan jangka panjang pada iklim, siklus ini hampir
tidak mungkin memiliki dampak yang lebih jauh pada siklus waktu sepanjang dekade
atau abad. Sepanjang beberapa abad, mungkin kita bisa mengamati efek dari
parameter orbital semacam ini, hamun untuk memprediksi perubahan iklim pada abad
21, perubahan ini akan jauh lebih tidak penting daripada kekuatan radiasi dari
gas yang berasal dari efek rumah kaca.
Apa yang akan terjadi di masa depan?
Karena adanya berbagai kompleksitas di atmosfer, alat yang
paling berguna untuk mengukur perubahan di masa depan adalah ‘model iklim.’ Ini
adalah model yang dibuat di komputer berdasarkan hitungan matematis yang
merupakan simulasi, dalam tiga dimensi, perilaku iklim, komponen serta
interaksinya. Model iklim juga terus menerus diperbaiki berdasarkan pemahaman
kita serta peningkatan kecanggihan alat komputer, meskipun secara definisi,
sebuah model komputer adalah suatu simplifikasi dan simulasi dari keadaan nyata,
yang artinya bahwa model tersebut merupakan kalkulasi secara kasar dari sistem
iklim nyata. Langkah pertama dalam membuat model proyeksi dari perubahan iklim
adalah dengan mula-mula melakukan simulasi tentang iklim saat ini dan
membandingkannya dengan pengamatan.
Bila model ini dianggap cukup baik untuk mewakili iklim modern, kemudian
beberapa parameter tertentu diubah, seperti konsentrasi gas rumah kaca, yang
akan membantu kita memahami bahwa iklim akan berubah sebagai respons dari
perubahan tersebut. Oleh karena itu, proyeksi perubahan iklim masa depan sangat
bergantung pada sebaik apa model iklim komputer tersebut mensimulasikan iklim
dan pada pemahaman kita mengenai mana fungsi-fungsi pendorong yang akan berubah
di masa datang.
Laporan Khusus IPCC mengenai Skenario Emisi menentukan jumlah gas rumah kaca
yang mungkin akan terbentuk (dan pendorong lainnya) berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan lain seperti pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi,
efisiensi energi dan sejumlah faktor lainnya. Laporan ini mengungkapkan sejumlah
skenario pendorong yang cakupannya cukup luas, dan akibatnya menghasilkan iklim
masa datang dengan berbagai variasi yang luas.
Berdasarkan tingkat pendorong yang ada dalam skenario terserbut, dan dengan
menghitung ketidakpastian yang terjadi dalam kinerja model iklim, IPCC
meramalkan peningkatan suhu secara global sebesar 1,4 -5,8°C dari tahun
1990-2100. Namun demikian, angka rata-rata secara global ini akan dikombinasikan
dengan berbagai response regional yang sangat bervariasi, seperti kemungkinan
apakah wilayah daratan akan lebih cepat memanas dibandingkan dengan suhu lautan,
terutama wilayah daratan yang berada di garis lintang utara bagian atas (dan
sebagian besar terjadi di musim dingin).
Curah hujan juga diramalkan akan mengalami peningkatan sepanjang abad 21,
terutama pada garis lintang utara bagian tengah, meskpun tren ini mungkin lebih
bervariasi di daerah tropis.
Lapisan dan lautan es juga diramalkan akan terus mengalami penurunan di wilayah
kutub utara, dan sungai es serta puncak-puncak gunung es diramalkan akan terus
menurun. (WM)Sumber:
http://lwf.ncdc.noaa.gov/oa/climate/globalwarming.html
Pemanasan Global
http://geo.ugm.ac.id/archives/28
admin on October 2, 2007
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.
Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.
Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
• Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
• Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
• Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.
• Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.
• Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.
Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.
Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb). Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku.
Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :
• globalisasi ekonomi dan implikasinya,
• otonomi daerah dan implikasinya,
• penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,
• pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan,
• pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,
• daur ulang hidrologi,
• penanganan land subsidence,
• pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta
• pemanasan global dan berbagai dampaknya.
Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c) pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua
Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai. (Selengkapnya mohon periksa Tabel 1 pada Lampiran).
Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka air laut dan banjir meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal. (selengkapnya mohon periksa Tabel 2 pada Lampiran).
Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka air laut dan banjir, seperti :
• sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang ± 900 km) serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang ± 250 km).
• beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta pelabuhan Makassar.
• Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur dan Sulawesi bagian Selatan.
• Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Semarang.
• Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.
Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut :
• Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
• Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
• Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip “working with nature”.
Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.
Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu – khususnya hutan tropis - perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir.
Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam kerangka kebijakan penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun demikian, selain penyiapan RTRWN ditempuh pula kebijakan untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci.
Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut :
• Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
• Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya.
• Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).
• Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang, maka diperlukan dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah - khususnya untuk penataan ruang dan pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public awareness campaig, (d) penyiapan dukungan sistem informasi dan database pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, serta (e) penyiapan peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas.
Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semang• at otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor berikut :
• Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir.
• Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan.
• Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah
• • Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders.
Pernyataan di bawah berikut ini mungkin akan membuat kita tersentak sekaligus terbelalak. Ia berbunyi: “Pernyataan pemanasan global itu sungguh nyata cuma omong kosong. Pernyataan itu diulang-ulang oleh para aktivis guna meyakinkan sekaligus menakut-nakuti publik bahwa iklim akan berubah menjadi malapetaka, dan aktivitas manusialah penyebab utamanya.” Kalimat itu diucapkan senator AS dari Partai Republik, James Inhofe, yang juga merupakan Ketua Environment and Public Works Committee Senat AS, setahun lalu.
Pernyataan itu diperkuat lagi dengan pernyataan Direktur NASA Michael Griffin dalam wawancara dengan sebuah radio lokal di AS belum lama ini, yang menunjukkan keraguan sang direktur bahwa pemanasan global adalah tantangan terbesar yang harus diatasi manusia. Dalam wawancara tersebut, salah satu petikan pernyataan Griffin yang kemudian banyak dikutip adalah, “Iklim bumi saat ini adalah iklim yang terbaik yang pernah kita punyai.”
Benarkah pemanasan global sungguh-sungguh merupakan akibat dari ulah manusia yang terlalu rakus mengeksploitasi bumi dan ceroboh menjaga keseimbangan alam? Apakah pemanasan global dan perubahan iklim adalah hal terpenting yang harus diatasi manusia?
Inhofe memaparkan beragam fakta dan kutipan yang mendukung argumennya. Menurutnya, media memainkan peranan penting dalam menggelorakan isu yang tidak benar ini. Ia pun mengungkapkan penelusurannya terhadap laporan beberapa media terkemuka seperti Newsweek, Majalah Time, Harian New York Times, Chicago Tribune, dan juga Jurnal Science News. Didapatinya, media-media tersebut pada era tahun 1900-an justru melaporkan kekhawatiran akan datangnya abad es, bukan pemanasan atau melelehnya es. Hingga periode 1920-1930-an sampai menjelang akhir tahun 1970-an, media-media terkemuka di AS itu masih sangat gencar memberitakan dan melaporkan bahaya perubahan bumi menjadi bola es.
Ia pun melecehkan Protokol Kyoto, sebuah protokol yang ditandatangani oleh sebagian besar negara di kolong bumi ini guna mengurangi emisi gas-gas pembentuk rumah kaca di mana AS menolak menandatanganinya, sebagai kesepakatan dan solusi yang tidak ada artinya dalam rangka mengurangi emisi gas-gas berbahaya ke atmosfir bumi. Menurutnya, cara paling efektif untuk mengurangi gas-gas tersebut adalah penggunaan alat pembersih gas dan teknologi yang lebih efisien untuk menekan gas tersebut bertebaran ke angkasa.
Namun pernyataan Inhofe berbau politis itu tak menyurutkan gerakan global di seluruh dunia bahwa ancaman pemanasan bumi sungguh-sungguh nyata dan harus diperangi dari sekarang oleh semua pihak. Inhofe, politisi dari Partai Republik, sebagaimana halnya Presiden AS George W. Bush yang juga dari Partai Republik, jelas tidak mau kepentingan mereka terusik terusik gara-gara harus menekan emisi gas rumah kaca yang di AS sebagian besar dihasilkan dari pembangkit listrik berenergi fosil (BBM, batubara).
Tak hanya Inhofe dan Bush yang bersikap “bebal” terhadap perubahan iklim. Lebih dari 17 ribu ilmuwan -- dua ribu lebih di antaranya adalah fisikawan, geofisikawan, ahli iklim, ahli meteorologi, dan pakar lingkungan- menandatangani petisi yang diedarkan oleh Oregon Institut of Science and Medicine di AS. Salah satu kalimat dalam petisi itu menyatakan, “Tidak ada bukti-bukti ilmiah bahwa pelepasan gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan gas-gas rumah kaca lainnya yang mengakibatkan pemanasan akut terhadap temperatur bumi dan kerusakan pada iklim bumi.”
Terlepas dari kenyataan dan pernyataan politik yang diungkapkan di atas, fakta-fakta berikut ini berbicara jauh lebih kuat dan nyata, memperlihatkan ke mana arah perubahan iklim di bumi ini akan menuju dan bermuara.
Fakta-fakta
Kita mulai dari yang jauh dengan kita, Laut Arktik. Lautan ini sebagian besar dikenali sebagai samudera es. Ilmuwan yang mengamati perubahan pada lautan es ini mencatat terjadinya peningkatan panas dua kali lebih cepat dibandingkan pemanasan di tingkat global. Sejak tahun 1980, samudera es yang terletak Arktik yang berada di wilayah Eropa telah mencair antara 20-30 persen.
Masih di Eropa, pegunungan Alpens yang tadinya sebagian besar diselubungi salju mengalami kemerosotan deposit salju yang parah. Delapan dari sembilan area gletser/glacier menunjukkan derajat kerusakan yang signifikan dan dalam kurun waktu satu abad sudah kehilangan sepertiga dari wilayah es.
Tidak hanya di Eropa, seluruh dataran tinggi di dunia yang selama ini dikenal memiliki puncak gunung es juga lumer. Salju di puncak gunung tertinggi di Afrika, Kilimanjaro, setiap bulannya meleleh tak kurang dari 300 meter kubik. Gunung yang terletak di Tanzania ini menderita kebotakan salju parah bilamana membandingkan foto udara yang diambil pada tahun 1974, 1990, dan 2001. Dalam periode satu abad pengamatan, salju di puncak gunung itu meleleh hingga mencapai 82%. Bila salju tak lagi betah hinggap di puncak gunung itu, nama gunung itu boleh jadi harus diubah, karena Kilimanjaro dalam bahasa setempat berarti gunung yang putih atau gunung yang bercahaya.
Mari beralih ke kawasan yang melahirkan banyak seniman bola, Amerika Selatan. Salju di negeri-negeri seperti berdataran tinggi seperti Argentina, Peru, Chili juga menurun drastis. Pegunungan Andes, salah satu surga salju di dunia, mengalami pelelehan salju ke arah puncak gunung yang sangat signifikan. Antara tahun 1963 hingga 1978, salju mencair rata-rata 4 meter per tahun, dan sejak tahun 1995 hingga sekarang, pelelehan salju mencapai kecepatan 30,1 meter per tahun di seluruh kawasan yang mengandung glacier. Sementara di Venezuela, negeri penghasil Miss World terbanyak, dari 6 glacier yang dimiliki negeri tersebut pada tahun 1972, kini hanya tersisa dua lagi, dan akan hilang paling lambat 10 tahun sejak sekarang.
Konsekuensi dari melelehnya salju adalah meningkatnya permukaan air laut, pertama-tama di kawasan tersebut. Di negeri bola Brasil, garis pantai yang hilang menjadi lautan rata-rata berkisar 1,8 meter per tahun pada kurun waktu antara 1915 hingga 1950 dan meningkat menjadi 2,4 meter per tahun pada kurun waktu sepuluh tahun antara 1985-1995.
Apa yang terjadi di Asia, juga di Indonesia, akibat pemanasan global? Sama dengan yang terjadi di benua lain, salju-salju di dataran tinggi Asia mengalami pelelehan yang drastis sekaligus dramatis. Himalaya, gunung tertinggi di dunia yang menjadi kantong air beku di “atap langit” terus kehilangan saljunya secara konsisten. Glacier-glacier di Pegunungan Himalaya yang tersebar di negara-negara seperti India, Tibet, Bhutan, China, terdegradasi dengan amat cepat. Tujuh sungai besar di Asia yang bermata air dari Himalaya yakni Gangga, Indus, Brahmaputra, Mekong, Thanlwin, Yangtze, dan Sungai Kuning terancam eksistensinya yang berakibat pada ratusan juta umat manusia di kawasan sepanjang aliran sungai-sungai itu.
Tak hanya di kawasan Asia Selatan, salju di Asia Tengah yang juga terus lenyap satu per satu. Itu terjadi pula di Puncak Jaya, Papua, satu-satunya daerah pegunungan tinggi di Indonesia yang memiliki salju. Bila foto udara pada tahun 1972 memperlihatkan puncak gunung yang hampir seluruhnya diselimuti salju, sekarang puncak gunung itu hanyalah berisi bebatuan dan pepohonan belaka. Artinya, tidak ada lagi salju di sana.
Pelelehan es yang diungkap di atas baru merupakan sebagian dari yang sebenarnya terjadi. Berdasarkan laporan terakhir Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terakhir yang dirilis tahun 2007 ini, 30 salju di pegunungan di seluruh dunia kehilangan ketebalan hingga lebih dari setengah meter hingga tahun 2005 saja. Dua tahun yang terakhir belum masuk dalam laporan tersebut.
Konsekuensi dan Risiko
Karena energi bersifat kekal, salju-salju tadi dengan sendirinya tidak hilang dan hanya berubah bentuk. Ibarat es yang ada dalam sebuah gelas, ketika ia terkena panas dan mencair, volume air itu tidak berkurang atau bertambah, melainkan hanya berubah. Maka, konsekuensi pertama dari meningkatnya suhu bumi yang melelehkan salju dan deposit-deposit air tadi adalah kian bertambahnya air di permukaan bumi. Peningkatan tersebut dapat dideteksi di seluruh penjuru bumi dan dibuktikan melalui sejumlah foto udara yang membandingkan suatu kawasan pada puluhan tahun silam dengan kondisi kontemporer.
Namun, konsekuensi meningkatnya suhu bumi tidaklah sesederhana itu. Perubahan-perubahan ekologis yang terjadi pada lingkungan di mana manusia dan makhluk hidup lainnya hidup membawa dampak yang mengerikan bagi umat manusia. Hukum fisika menyatakan, angin bergerak dari tempat yang dingin ke tempat yang lebih panas. Nah, perbedaan temperatur suatu kawasan dengan kawasan lain yang sangat ekstrem pada waktu bersamaan telah memicu munculnya angin topan, badai, dan tornado menjadi lebih sering dibandingkan beberapa tahun silam. Negara-negara di kawasan Amerika Utara, Tengah, Selatan dan Karibia, Eropa, juga Asia Selatan dan Timur sudah merasakan dampak yang ditimbulkan dari topan badai ini. Topan yang memiliki nama-nama nan indah menerpa warga di seluruh bumi secara memilukan dan sekaligus mematikan.
Arus pergerakan air tidak hanya membawa musibah banjir bandang, tetapi juga disertai tanah longsor akibat penggundulan hutan yang berlangsung setiap menit. Dalam waktu bersamaan, belahan dunia yang satu terancam kekeringan dan kebakaran, tempat lainnya dilanda topan badai, banjir dan tanah longsor yang menyengsarakan ratusan juta umat manusia.
Konsekuensi di Tingkat Lokal
Kekeringan di daerah Gunung Kidul misalnya, mungkin saja sudah menjadi fakta jamak yang berlangsung setiap tahun dan sudah sejak puluhan tahun hal itu terjadi. Akan tetapi, kesulitan air yang dialami oleh warga di lereng Gunung Merapi lima tahun terakhir ini misalnya, tentu sebuah fakta baru yang menunjukkan betapa air makin sulit didapat.
Kesulitan para petani sayuran di lereng Gunung Merbabu misalnya, juga sesuatu yang masih terdengar asing. Grojogan Sewu memang masih menumpahkan airnya. Tetapi dibandingkan lima belas tahun silam misalnya, grojogan itu sekarang telah berubah menjadi tak lebih dari pancuran. Beberapa puluh tahun yang akan datang, boleh jadi ia tinggal menjadi tetesan saja.
Itu baru dari sisi kelangkaan air. Dari sisi perubahan iklim, semua kota dan wilayah di Indonesia menjadi korbannya. Di Jawa bagian tengah misalnya, Kaliurang di Jogjakarta, Tawangmangu di Karanganyar, atau Bandungan di Semarang, sekarang bukan lagi didatangi wisatawan karena udaranya yang sejuk dan dingin, tetapi karena kelatahan dan cap yang terlanjut melekat sebagai daerah wisata. Itu saja. Dahulu, di daerah-daerah tersebut kabut dingin senantiasa turun setiap pagi sepanjang tahun. Sekarang, ia hanya bisa dijumpai beberapa kali sepanjang tahun, itupun sangat tergantung dari musim.
Di Puncak Jaya, Papua, salju tidak lagi hinggap di puncaknya sejak beberapa tahun silam. Ini menandai era berakhirnya eksistensi satu-satunya kawasan bersalju di Indonesia. Dan ini sekaligus membuktikan, bahwa bumi yang makin panas bukanlah fakta gombal melainkan kenyataan aktual.
Ironisnya, dalam situasi udara yang makin panas, orang lalu mencari cara untuk mendinginkannya, tetapi hanya untuk diri mereka sendiri. Pendingin udara adalah pilihan pragmatis untuk ini, tetapi alat inipun hanya bisa dijangkau oleh lapisan masyarakat golongan menengah ke atas. Masyarakat miskin jelas tak bisa mengelak dari kegerahan.
Ironisnya, penggunaan pendingin udara yang makin masif dan intensif pada sebagian besar rumah tangga di perkotaan secara akumulatif justru mendorong terciptanya bumi yang makin panas akibat gas-gas yang dihasilkan oleh pendingin udara tersebut tidak ramah lingkungan. Sudah begitu, penggunaan pendingin udara yang intensif itu juga memicu meningkatnya kebutuhan listrik yang terus membesar –yang lagi-lagi ironisnya— sementara listrik tersebut diproduksi dengan menggunakan bahan bakar fosil yang tak ramah terhadap lingkungan dan memberi kontribusi terbesar pada pemanasan secara global.
Lingkaran setan ini jelas menggiring masyarakat yang paling miskin dan tak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi yang memadai menjadi korban. Jumlah masyarakat yang kian tersisih dari lingkaran ini niscaya akan terus membesar karena perseteruan dan kata sepakat tentang upaya kongkret memerangi perubahan iklim ini mengalami kebuntuan yang akut.
http://rovicky.wordpress.com/2007/12/15/global-warming-ngga-bisa-dicegah/
Not fight to it, but how we adapt to it“
Sebagai seorang geologist, aku ini masih sulit menerima bahwa fenomena global warming ini dapat “dicegah“. Saya kok yakin bahwa global warming ini lebih bersifat natural ketimbang “man made“. Walaupun begitu bukan berarti bahwa emisi karbon itu tidak berbahaya loo. Emisi karbon hanyalah bersifat polutan, artinya emisi karbon dari cerobong, maupun dari knalpot dan sebagainya, itu jelas “menganggu” dan mempengaruhi kenyamanan. Dalam skala kecil misalnya kalau kita berada pada satu kota yang pengap dengan asap kenalpot, maka kita akan merasakan udara semakin terasa panas. Tetapi panas ini disebabkan oleh sifat-sifat asap yang menghambat penghantaran panas.
Prose pemanasan dan pendinginan global terjadi sejak dulu.
Suhu bumi rata-rata sejak jutaan tahun lalu
Yang saya takutkan adalah kalau kita menganggap bahwa kalau manusia berhasil mengurangi emisi sampai nol maka diharapkan pasti pemanasan global dapat distop. Ini yang aku khawatirkan.
Karena kalau ini yang ada didalam benak manusia, maka secara naluriah manusia akan mati-matian memerangi pengurangan emsisi gas buang karena dianggap sebagai “musuh utama” atau “penyebab utama” dari fenomena global warming. Sehingga setiap usaha riil (fisik) serta olah otak (berdikusi, konperensi, seminar dll), akan ditargetkan dalam menghadapi global warming hanyalah ke arah pengurangan emisi ini saja.
Lah seandainya global warming itu merupakan kejadian alam biasa (hanya sebuah siklus panjang), seperti yang terlihat disebelah kiri ini. Maka kita (manusia) harus mempersiapkan segala sesuatu demi menghadapi pemanasan global ini. Persiapan menghadapi pemanasan global ini mirip kalau akan menghadapi musim tahunan saja.
Tetapi kali ini kita akan menghadapi perubahan iklim yang siklusnya mungkin ribuan tahun, jutaan tahun. Global warming-cooling bukanlah siklus satu tahunan saja. Gambar fluktuasi muka air laut disebelah ini, merupakan salah satu manifestasi dari global warming-cooling yang terekspressi pada naik-turunnya muka air laut. Perhatikan bahwa sepanjang hidupnya tinggi muka air laut lebihsering lebih tinggi dari ketinggiannya saat ini.
Bisnis Global Warning
Yang lebih parah lagi kalau global warming-cooling yang menurutku belum pasti akibat manusia ini dibisniskan.
Misalnya dengan salah satunya jual beli carbon emisi, seolah jual beli sesuatu yang tidak ada gunanya. Juga adanya pinjaman utang Bank Dunia atau IMF utk mengatasi penggundulan hutan dll, yang seharusnya tidak diperlukan. Semua ini bisa saja nantinya dianggap sebagai jebakan dari negara adidaya dan super power, serta negara maju yang selama ini memakai carbon seenaknya. Dan menjerat hutang ke negara miskin.
So … kalau ada pemikiran STOP GLOBAL WARMING … aku kok malah gedeg-gedeg sendiri. Jangan-jangan kita ini masuk ke Problema Columbus, dimana ada yang takut kecemplung pinggiran laut karena dikira laut itu seperti meja ! Ketakutan kita pada global warming semestinya bukanlah diantisipasi dengan mengutamakan pencegahan pemanfaatan sumberdaya (energi).
Polusi dan eksploitasi sumberdaya alam
Polusi memang sangat menganggu, tetapi polusi ini menganggukenyamanan lokal. Polusi tidak hanya asap, polusi dapat juga polusi bahan-bahan radioaktif. Juga polusi bahan beracun akibat aktifitas manusia. Ini tentusaja tetap harus diperangi, namun bukan dalam semangat mengantisipasi global warming.
Demikian juga eksploitasi sumberdaya alam. Pemanfaatan hutan, pemanfaatan air, pemanfaatan minyak bumi, pemanfaatan gas, tambang emas, batubara dan lain-lain memang harus dikelola dengan benar. Tetapi sekali lagi bukan dengan semangat untuk mencegah atau menyetop global warming. Pemanfaatan ini dapat saja dikaitkan dengan global warming dalam artian, bagaimana kita mengantisipasi kedatangannya. Bagaimana kita mengelola air dimasa bumi semakin panas, bagaimana memanfaatkan listrik dengan baik untuk mengatisipasi suhu yang tinggi. Juga seperti apa seharusnya memanfaatkan hutan supaya tidak menganggu ketika terjadi kebakaran dsb.
“Not fight to it, but how we adapt to it“
Mitigasi Global Warming
Global warming bukan untuk dikurangi, dicegah, atau bahkan distop. Tetapi global warning ini harus diantisipasi bagaimana menghadapinya. Lebih tepatnya kita harus me-mitigasi global warning ini, mirip seperti melakukan mitigasi untuk sebuah gempa. Kita tidak mungkin mencegahnya walaupun kita meneliti dan menganalisanya, bahkan mencoba meramalkannya.
http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=67
• 10/04/2008
Mengenal Lebih Jauh Tentang Pemanasan Global
Pendahuluan
Tulisan halaman ini dibuat berdasarkan ikhtisar pendek dari laporan tahun 2001
yang dibuat oleh Kelompok Diskusi Antar-negara Mengenai Perubahan Iklim dan
laporan tahun 2001 dari Badan Riset Nasional mengenai Pengetahuan mengenai
Perubahan Iklim: Sebuah Analisis tentang Beberapa Pertanyaan Kunci, juga
sumber-sumber data dari NCDC sendiri. Tulisan ini dibuat oleh David Easterling
dan Tom Karl, dari Pusat Data Iklim Nasional, Asheville, N.C. 28801.
Salah satu topik yang paling hangat diperdebatkan di dunia adalah masalah
perubahan iklim, dan pusat-pusat data dari Layanan Satelit, Data dan Informasi
Lingkungan Nasional (National Environmental Satellite, Data, and Information
Service – NESDIS) merupakan pusat untuk menjawab beberapa pertanyaan yang paling
mendesak yang masih saja belum bisa dijelaskan mengenai perubahan cuaca. Pusat
Data Iklim Nasional memiliki catatan-catatan pendukung yang dapat secara tepat
menjabarkan sifat-sifat alami fluktuasi iklim dalam jangka waktu hingga satu
abad lamanya. Berbagai jenis variasi data yang disumbangkan pada NCDC berasal
dari: Kapal-kapal, pelampung, stasiun cuaca, balon cuaca, satelit, dan pesawat
udara. Pusat Data Oseanografis Nasional (National Oceanographic Data Center)
memiliki data bawah laut yang dapat mengungkapkan bagaimana cara panas
didistribusikan dan diredistribusikan kembali di sekeliling planet ini.
Dengan mengetahui bagaimana perubahan yang tengah dialami dan telah dialami oleh
sistem ini di masa lalu, sangat penting untuk dapat memahami bagaimana perubahan
yang akan dialami di masa mendatang. Dan, untuk mendapatkan informasi mengenai
iklim yang berlangsung selama ratusan hingga ribuan tahun, program
paleoklimatologi, yang juga ada di Pusat Data Iklim Nasional, dapat membantu
untuk menghadirkan sudut pandang dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Secara internasional, Kelompok Diskusi Antar-negara Mengenai Perubahan Iklim
(Intergovernmental Panel on Climate Change – IPCC), yang berada di bawah naungan
PBB, Organisasi Meterologi Dunia (World Meteorological Organization – WMO), dan
Program Lingkungan PBB (United Nations Environment Program – UNEP), adalah badan
paling tua dan paling memiliki otoritas untuk menyediakan nasihat-nasihat ilmiah
pada para pembuat kebijakan secara global. IPCC mengadakan pertemuan lengkap
pada tahun 1990, 1995, dan 2001. Mereka membahas isu-isu seperti meningkatnya
gas yang dihasilkan oleh efek rumah kaca, bukti-bukti, penyebab, dan prediksi
mengenai perubahan iklim, akibat dari perubahan iklim, dan pilihan-pilihan
kebijakan.
Di bawah ini terdapat sejumlah pertanyaan yang biasa diajukan pada para peneliti
iklim, dan jawaban-jawaban pendek (berdasarkan laporan dari IPCC dan riset yang
lainnya) dalam bahasa awam yang mudah dipahami. Daftar ini akan diperbarui
secara periodik, bila ada bukti-bukti ilmiah baru yang ditemukan.
Apakah yang dimaksud dengan efek rumah kaca, dan apakah
efek rumah kaca dapat mempengaruhi iklim kita?
Efek rumah kaca adalah suatu hal yang kebenarannya tidak
diragukan lagi dan efek ini membantu mengatur suhu di planet kita. Efek ini
penting bagi kehidupan di Bumi dan merupakan salah satu proses alami yang
terjadi di Bumi. Efek rumah kaca merupakan hasil dari penyerapan energi oleh
gas-gas tertentu yang terdapat di atmosfer (disebut gas rumah kaca karena
gas-gas ini secara efektif ‘menangkap’ panas yang terdapat di atmosfer bagian
bawah) dan meradiasikan kembali sebagian dari panas tersebut ke bawah.
Uap air adalah unsur terbanyak yang terdapat dalam gas rumah kaca, diikuti oleh
karbon dioksida dan gas-gas lainnya. Tanpa adanya efek rumah kaca yang alami,
suhu di permukaan bumi akan berada pada angka no derajat F (-18˚C) bukan seperti
suhu saat ini yaitu 57˚F (14˚C). Jadi, kekhawatiran bukan terletak pada fakta
tentang adanya efek rumah kaca, namun apakah aktivitas manusia menyebabkan
terjadinya peningkatan efek rumah kaca ini.
Apakah jumlah gas yang dihasilkan efek rumah kaca terus
meningkat jumlahnya?
Aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi gas rumah
kaca dalam atmosfer (sebagian besar berupa karbon dioksida yang berasal dari
pembakaran batu bara, minyak, dan gas; ditambah gas-gas lainnya). Tidak ada
debat ilmiah mengenai hal ini. Tingkat karbon dioksida sebelum masa industri (sebelum
Revolusi Industri dimulai) adalam sekitar 280 ppmv, dan tingkat karbon dioksida
saat ini adalam sekitar 370 ppmv. Konsentrasi CO2 dalam atmosfer kita saat ini,
belum pernah meningkat selama 420.000 tahun, dan kemungkinan besar tidak akan
berubah dalam 20 juta tahun terakhir. Berdasarkan laporan khusus dari IPCC
mengenai skenario emisi (Special Report on Emission Scenarios –SRES), di akhir
abad ke 21, kita bisa melihat adanya konsentrasi karbon dioksida sebesar 490 –
1260 ppm (75 – 350% di atas angka konsentrasi di masa pra industri.
Apakah Iklim menjadi semakin panas?
Ya. Temperatur permukaan secara global
meningkat sebesar kurang lebih 0.6°C (kurang atau lebih 0.2°C) sejak akhir abad
19, dan sekitar 0.4°F (0.2 hingga 0.3°C) sepanjang 25 tahun terakhir (periode
ini memiliki data yang paling akurat). Pemananasan bukanlah sesuatu yang seragam
secara global. Beberapa wilayah (termasuk sebagian dari Amerika Serikat bagian
tenggara), pada kenyataannya, menjadi semakin dingin sepanjang satu abad
terakhir. Peningkatan panas paling besar dialami oleh
Amerika Utara dan Eurasia di antara 40 dan 70°LU. Pemanasan, yang dibantu dengan
adanya catatan El Niño sepanjang tahun 1997-1998, dan terus meningkat hingga
saat ini, dimana tahun 2001 menjadi tahun terpanas kedua setelah tahun 1998.
Trend secara linear dapat sangat bervariasi tergantung pada periode saat
penghitungan. Trend suhu pada atmosfer bagian bawah (di antara 2.500 dan 26.000
kaki) dari tahun 1979 hingga saat ini, merupakan sebuah periode dimana terdapata
unit data dari Microwave Satellite, sangatlah kecil dan mungkin tidak
representatif untuk mewakili tren dengan masa yang lebih panjang dan trend yang
lebih dekat dengan permukaan. Lebih jauh lagi ada perbedaan kecil yang belum
dapat di diperbaiki du abtara radiosonde dan observasi satelit mengenai
temperatur di troposfer, meskipun kedua sumber data tersebut menunjukkan sedikit
adanya tred pemanasan.
Bila kita melakukan kalkulasi terhadap tren berdasarkan data radiosonde yang
mulai dicatat sejak tahun 1950an, terlihat pemanasan yang sedikit lebih tinggi
dalam catatannya karena adanya peningkatan di tahun 1970an. Ada alasan-alasan
fisik dan statistik (misalnya, masa pencatatan yang terlalu pendek, perbedaan
efek sementara terhadap aktivitas vulkanis dan El Niño, serta efek-efek lapisan
perbatasan) sehingga kita bisa melihat perbedaan di antara tren yang terjadi
baru-baru ini pada suhu di lapisan troposfer bagian permukaan dan di bagian
bawah, namun alasan-alasan pasti tentang terjadinya perbedaan ini masih terus
diselidiki (lihat laporan Badan Riset Nasional “Merekonsiliasi Hasil Observasi
terhadap Perubahan Iklim secara Global”).
Sebuah efek rumah kaca yang diperkuat diperkirakan menyebabkan terjadinya
pendinginan di bagian atmosfer yang lebih tinggi karena adanya peningkatan efek
“selimut” di bagian bawah atmosfer menyimpan panas yang lebih banyak,
menyebabkan lebih sedikit panas yang dapat mencapai atmosfer bagian atas.
Pendinginan di stratosfer bagian bawah (sekitar 49.000 – 79.500 kaki) sejak
tahun 1979 ditunjukkan oleh data dari Unit Microwave Sounding dan data
radiosonde, namun angka lebih besar ditunjukkan oleh data radiosonde.
Suhu permukaan dan troposfer yang relatif lebih dingin, dan suhu stratosfer
bagian bawah yang relatif lebih hangat, diamati pada tahun 1992 dan 1993,
menyusul meletusnya Gunung Pinatubo pada tahun 1991. Pemanasan muncul kembali
pada tahun 1994. Sebuah pemanasan secara global yang dramatis, setidaknya
sebagian dihubungkan dengan adanya catatan El Niño, terjadi pada tahun 1998.
Episode pemanasan ini direfleksikan dari permukaan hingga di bagian atas
troposfer.
Ada kecenderungan secara umum, namun bukan kecenderungan global, terhadap
pengurangan diurnal temperature range (DTR), (perbedaan tinggi rendahnya
temperatur harian) di sekitar 50% dari wilayah daratan secara global sejak
pertengahan abad 20. Liputan awan semakin meningkat di banyak wilayah sementara
DTR semakin berkurang. Tren positif secara keseluruhan untuk suhu harian
maksimum sepanjang masa pengamatan (1950-1993) adalah 0.1°C/dekade, sementara
tren untuk suhu minimum harian adalah 0.2°C/dekade. Hasil ini merupakan gambaran
tren negatif dalam DTR yaitu -0.1°C/dekade.
Indikator tidak langsung atas terjadinya pemanasan seperti temperatur yang
semakin panas, lapisan es, dan data berkurangnya sungai es (glacier), secara
substansial mendukung data lain yang lebih langsung mengenai suhu yang semakin
memanas belakangan ini. Bukti-bukti seperti perubahan panjang sungai es, sangat
berguna karena tidak hanya memberikan dukungan kualitatif terhadap data
meteorologi yang sudah ada, namun sungai es terkadang berada di tempat-tempat
yang terlalu terpencil untuk dapat mendukung stasiun-stasiun meteorologi,
catatan makin bertambah atau berkurangnya sungai es seringkali jauh lebih
panjang daripada apa yang tercatat di stasiun cuaca, dan sungai es biasanya
berada pada ketinggian yang lebih jauh lebih tinggi sehingga stasiun cuaca dapat
memberikan kita lebih banyak data mengenai perubahan di tempat-tempat yang lebih
tinggi di atmosfer.
Pengukuran dalam skala besar terhadap lautan es hanya dapat dilakukan pada era
satelit, namun dengan melihat pada angka-angka yang terdapat pada perkiraan
berbagai satelit yang berbeda, kita dapat melihat bahwa wilayah Samudera Arktik
mengalami pengurangan antara tahun 1973 dan 1996 dengan kecepatan -2.8 +/-
0.3%/dekade. Meskipun hal ini kelihatannya berhubungan dengan peningkatan suhu
secara umum pada periode yang sama, ada banyak siklus-kuasi dinamika atmosfer
(misalnya Arctic Oscillation) yang juga dapat mempengaruhi ketebalan lautan es
di Arktik. Lautan es di Antartika menunjukkan sedikit sekali tren pada periode
yang sama, atau bahkan mengalami sedikit peningkatan sejak tahun 1979. Meskipun
catatan mengenai lautan es di Antartika di tahun-tahun yang lampau sangat sulit
untuk didapatkan karena tidak adanya pengamatan secara langsung di belahan bumi
ini.
Apakah El Niño berhubungan dengan
pemanasan global?
El Niño bukan disebabkan oleh pemanasan
global. Bukti-bukti yang didapatkan dari berbagai sumber (termasuk penelitian
arkeologi) memperlihatkan bahwa El Niño sudah ada selama beratus-ratus tahun,
bahkan ada indikator yang menyebutkan kemungkinan keberadaannya selama jutaan
tahun.
Namun diperkirakan bahwa suhu permukaan laut yang semakin hangat dapat
memperkuat fenomena El Niño, dan benar juga bahwa El Niño terjadi lebih sering
dan lebih dasyat dalam beberapa dekade belakangan ini. Hasil percobaan model
iklim yang merupakan simulasi dari abad 21 dengan peningkatan gas-gas rumah kaca
menunjukkan bahwa pola suhu permukaan laut yang mirip seperti El Niño di
Samudera Pasifik bagian tropis kemungkinan akan lebih kuat.
Apakah terjadi perubahan pada siklus hidrologis (penguapan
dan curah hujan)?
Secara umum, curah di daratan di seluruh dunia meningkat
sekitar ~2% sejak tahun 1900, namun demikian, perubahan curah hujan terjadi
secara bervariasi selama seabad belakangan ini. Catatan instrumental menunjukkan
bahwa ada peningkatan secara umum pada curah hujan sebesar sekitar 0.5-1.0%/dekade
pada daratan di wilayah utara dengan ketinggian menengah ke atas, kecuali
sebagian Rusia bagian timur. Namun demikian, ada penurunan sekitar -0.3%/dekade
pada curah hujan yang terjadi sepanjang abad 20 di wilayah daratan yang berada
pada ketinggian sub-tropis, meskipun tren ini semakin melemah pada dekade-dekade
belakangan ini.
Karena adanya kesulitan dalam mengukur curah hujan, penting sekali untuk
memberikan dukungan data terhadap pengamatan ini dengan menganalisis variabel
lain yang berhubungan. Perubahan yang dapat diukur pada curah hujan akan secara
konsisten sama dengan perubahan pada aliran arus, tinggi danau, dan kelembaban
tanah (dimana data bisa dilihat dan telah dianalisis).
Luas lapisan es di Wilayah Kutub Utara yang diukur setiap tahunnya secara
konsisten berada di bawah rata-rata sejak tahun 1987, dan mengalami penurunan
sekitar 10% sejak tahun 1966. Hal ini sebagian besar terjadi karena berkurangnya
hujan salju pada musim semi dan musim panas di wilayah Eurasia dan Amerika Utara
sejak pertengahan 1980an. Namun demikian, lapisan salju di musim hujan dan musim
gugur menunjukkan tidak adanya tren yang signifikan di wilayah kutub utara pada
periode yang sama.
Data satelit yang semakin bagus menunjukkan bahwa tren umum peningkatan jumlah
liputan awan bak di daratan maupun lautan sejak awal 1980an, mengalami penurunan
pada awal 1990an, dan jumlah total liputan awan di daratan dan lautan saat ini
kelihatannya semakin berkurang. Namun demikian, ada beberapa penelitian yang
menunjukkan ketebalan awan secara regional, mungkin terutama pada awan-awan
hujan yang tebal, mengalami peningkatan pada abad 20.
Apakah terjadi perubahan pada sirkulasi
atmosfer/lautan?
Sebuah perubahan yang agak tiba-tiba pada
perilaku El Niño – South Oscillation terjadi pada sekitar tahun 1976/77 dan
perilaku ini terus berlangsung hingga sekarang. El Niño lebih sering terjadi dan
lebih dasyat daripada La Niña yang lebih dingin. Perilaku yang sangat di luar
kebiasaan terjadi dalam 120 tahun terakhir (periode dimana terdapat catatan
instrumental). Perubahan pada curah hujan di wilayah Pasifik tropis berhubungan
dengan perubahan pada El Niño – South Oscillation, yang juga mempengaruhi pola
dan kekuatan temperatur di permukaan. Namun demikian, tidak jelas apakan
perubahan yang jelas sekali terlihat pada siklus ENSO ini disebabkan oleh
pemanasan secara global.
Apakah terjadi perubahan iklim yang lebih ekstrem dan
lebih bervariasi?
Dalam skala global hanya ada sedikit bukti adanya tren
panjang dalam ekstrimitas dan variabilitas iklim. Ini mungkin menunjukkan adanya
ketidak cukupan data dan analisis. Namun demikian dalam skala regional, ada
bukti yang jelas adanya perubahan pada variabilitas dan ekstrimitas. Di
wilayah-wilayah dimana terjadi kekeringan atau musim penghujan yang
berkepanjangan biasanya diikuti adanya El Niño, kekeringan atau kebasahan ini
biasanya terasa lebih intense pada tahun-tahun belakangan. Di luar wilayah ini,
hanya sedikit bukti yang tersedia mengenai perubahan pada frekuensi atau
intensitas kekeringan.
Di beberapa wilayah dimana secara keseluruhan curah hujan mengalami peningkatan
(misalnya, di wilayah utara dengan ketinggian menengah hingga tinggi), ada bukti
mengenai peningkatan terjadinya curah hujan yang lebih lebat dan lebih ekstrim.
Bahwa di wilayah-wilayah seperti Asia selatan, ditemukan peningkatan jumlah
curah hujan yang ekstrim meskipun secara total curah hujan tetap konstan atau
bahkan terjadi penurunan. Hal ini berhubungan dengan penurunan pada frekuensi
curah hujan di wilayah ini.
Banyak penelitian individual di berbagai wilayah yang menunjukkan bahwa
aktivitas siklon ekstra tropis kelihatannya mengalami peningkatan sepangjang
pertengahan abad 20 di kutub utara, namun mengalami penurunan di wilayah kutub
selatan. Tidak jelas apakah tren ini merupakan fluktuasi multi-dekade atau
bagian dari tren yang lebih panjang lagi.
Menurut data yang terpercaya, frekuensi dan intensitas badai tropis tidak
menunjukkan adanya tren jangka panjang yang signifikan di basin manapun.
Kelihatannya sedang terjadi fluktuasi dekade-interdekade, namun tidak ada data
yang secara konsklusif menunjukkan adanya komponen termin yang lebih panjang.
Ekstrimitas suhu secara global tidak menunjukkan adanya tren yang signifikan
dalam variabilitas dari tahun ke tahun, namun beberapa penelitian menunjukkan
adanya penurunan signifikan pada variabilitas dalam satu tahun. Ada tren yang
lebih jelas menurunnya suhu rendah minimum pada beberapa wilayah yang berjauhan
dalam beberapa dekade belakangan. Perubahan signifikan tentang suhu tinggi
ekstrim yang tersebar di beberapa wilayah yang berjauhan tidak diamati. Ada
beberapa indikasi adanya penurunan variabilitas suhu harian di beberapa dekade
belakangan.
Seberapa pentingnya perubahan-perubahan ini dalam konteks
jangka panjang?
Data paleoklimatik sangat penting untuk membuat kita dapat
memperluas pengetahuan mengenai variabilitas iklim di luar apa yang telah diukur
oleh peralatan modern. Banyak fenomena alamiah yang sangat bergantung pada iklim
(seperti misalnya tingkat pertumbuhan sebuah pohon), dan sebagainya, menyediakan
‘catatan’ alamiah mengenai informasi iklim. Beberapa data paleoklimatik dapat
ditemukan pada berbagai sumber seperti lingkaran pada pohon, inti es,
batu-batuan, sedimentasi pada danau (termasuk fosil serangga dan data pollen),
speleothems (skalaktit dan sebagainya), dan sedimentasi laut.
Beberapa data ini, termasuk inti es dan lingkaran pada pohon memberikan juga
sebuah catatan kronologis mengenai bagaimana mereka terbentuk secara alami, dan
sehingga rekonstruksi iklim yang beresolusi tinggi dapat dilakukan berdasarkan
catatan-catatan ini. Namun demikian, tidak ada ‘jaringan’ yang komprehensif pada
data paleoklimatik seperti yang ada pada data liputan instrumental, sehingga
rekonstruksi iklim secara global seringkali sulit untuk didapatkan. Namun,
menggabungkan catatan-catatan berbagai tipe paleoklimatik yang berbeda bisa
membuat kita mengembangkan sebuah gambaran yang hampir global mengenai perubahan
iklim di masa lalu.
Untuk suhu musim panas di Kutub Utara, beberapa dekade terakhir kelihatannya
adalah suhu terhangat sejak setidaknya 1000M, dan pemanasan sejak akhir abad 19
belum pernah terjadi dalam 1000 tahun terakhir. Data yang lebih tua tidak cukup
untuk memberikan estimasi suhu wilayah yang akurat. Data pada inti es
menunjukkan bahwa pada abad 20 suhu cukup hangat di berbagai belahan dunia,
namun juga pentingnya pemanasan berbeda secara geografis, bila dilihat dalam
konteks variasi iklim pada milenium terakhir.
Perubahan yang besar dan cepat pada iklim mengubah sirkulasi atmosfer dan lautan
serta suhu, dan juga siklus hidrologis, terjadi sepanjang jaman es terakhir dan
sepanjang masa transisi menuju periode Holocene (yang terjadi sekitar 10.000
tahun yang lalu). Berdasarkan bukti tidak lengkap yang ada, perubahan
diproyeksikan akan berubah dari 3 hingga 7°F (1,5 - 4°C) sepanjang abad yang
akan datang akan menjadi sesuatu yang luar biasa dibandingkan dengan catatan
terbaik yang ada dari beberapa ribu tahun yang lalu.
Apakah terjadi peningkatan pada tinggi
permukaan laut?
Secara global tinggi permukaan laut mengalami
peningkatan sebesar 1 hingga 2 mm/tahun sepanjang 100 tahun terakhir, yang
secara signifikan merupakan angka yang lebih besar dibandingkan dengan angka
rata-rata sepanjang beberapa ribu tahun belakangan. Proyeksi peningkatan dari
tahun 1990-2100 adalah sebesar 0,09-0,88 meter, bergantung pada skenario rumah
kaca mana yang digunakan dan berbagai ketidak pastian secara fisik yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tinggi permukaan laut dari berbagai sumber
air baik yang beku maupun tidak beku.
Apakah perubahan yang telah diamati dapat
dijelaskan menggunakan dengan faktor variabilitas alami?
Karena sistem iklim kita secara fundamental didorong oleh
adanya energi dari matahari, maka bisa dipastikan bahwa bila energi matahari
mengalami perubahan, maka iklim juga akan mengalami perubahan. Sejak adanya
pengukuran melalu media luar angkasa pada akhir tahun 1970an, energi yang keluar
dari matahari memang menunjukkan adanya variasi. Kelihatan ini merupakan
penegasan dari dugaan sebelumnya mengenai adanya siklus 11 (dan 22) tahun
radiasi.
Namun, dengan hanya 20 tahun pengukuran yang akurat, sulit untuk menyimpulkan
sebuah tren. Akan tetapi, dari catatan pendek yang kita miliki sejauh ini, tren
iradiasi matahari diperkirakan sekitar ~0,09 W/m2 dibandingkan dengan 0.4 W/m2
dari gas rumah kaca yang tercampur dengan baik. Ada banyak indikasi bahwa
matahari juga memiliki variasi dengan periode lebih panjang yang berpotensi
menyebabkan tingkat yang lebih tinggi dalam skala abad. Namun, ada juga ketidak
pastian yang cukup besar dalam memperkirakan iradiasi matahari di luar apa yang
dapat diukur oleh satelit, dan kontribusi dari iradiasi matahari secara langsung
lebih kecil daripada komponen dari efek rumah kaca. Kita masih harus membentuk
pengertian kita mengenai mekanisme alami yang menjadi kunci dari mekanisme iklim,
termasuk juga perubahan iradiasi matahari, untuk mengurangi ketidakpastian dalam
proyeksi kita dalam perubahan iklim di masa datang.
Sebagai tambahan selain perubahan energi dari matahari sendiri, posisi bumi dan
orientasi relatif terhadap matahari (orbit kita) juga sedikit bervariasi,
sehingga membawa kita lebih dekat atau lebih jauh dari matahari dengan siklus
yang dapat diduga (disebut siklus Milankovitch). Variasi dari siklus-siklus ini
dipercaya menjadi penyebab terjadinya jaman es di bumi. Yang paling penting
untuk terjadinya pembekuan (glasial) ada penerimaan radiasi di lintang utara
bagian atas.
Berkurangnya radiasi di bagian ini pada bulan-bulan musim panas menyebabkan
salju dan es tetap tertutup sepanjang tahun, sehingga pada akhirnya menyebabkan
timbulnya es yang permanen – atau batu es. Meskipun siklus Milankovitch
merupakan sesuatu yang sangat berharga sebagai suatu teori yang menjelaskan
terjadinya jaman es dan perubahan jangka panjang pada iklim, siklus ini hampir
tidak mungkin memiliki dampak yang lebih jauh pada siklus waktu sepanjang dekade
atau abad. Sepanjang beberapa abad, mungkin kita bisa mengamati efek dari
parameter orbital semacam ini, hamun untuk memprediksi perubahan iklim pada abad
21, perubahan ini akan jauh lebih tidak penting daripada kekuatan radiasi dari
gas yang berasal dari efek rumah kaca.
Apa yang akan terjadi di masa depan?
Karena adanya berbagai kompleksitas di atmosfer, alat yang
paling berguna untuk mengukur perubahan di masa depan adalah ‘model iklim.’ Ini
adalah model yang dibuat di komputer berdasarkan hitungan matematis yang
merupakan simulasi, dalam tiga dimensi, perilaku iklim, komponen serta
interaksinya. Model iklim juga terus menerus diperbaiki berdasarkan pemahaman
kita serta peningkatan kecanggihan alat komputer, meskipun secara definisi,
sebuah model komputer adalah suatu simplifikasi dan simulasi dari keadaan nyata,
yang artinya bahwa model tersebut merupakan kalkulasi secara kasar dari sistem
iklim nyata. Langkah pertama dalam membuat model proyeksi dari perubahan iklim
adalah dengan mula-mula melakukan simulasi tentang iklim saat ini dan
membandingkannya dengan pengamatan.
Bila model ini dianggap cukup baik untuk mewakili iklim modern, kemudian
beberapa parameter tertentu diubah, seperti konsentrasi gas rumah kaca, yang
akan membantu kita memahami bahwa iklim akan berubah sebagai respons dari
perubahan tersebut. Oleh karena itu, proyeksi perubahan iklim masa depan sangat
bergantung pada sebaik apa model iklim komputer tersebut mensimulasikan iklim
dan pada pemahaman kita mengenai mana fungsi-fungsi pendorong yang akan berubah
di masa datang.
Laporan Khusus IPCC mengenai Skenario Emisi menentukan jumlah gas rumah kaca
yang mungkin akan terbentuk (dan pendorong lainnya) berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan lain seperti pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi,
efisiensi energi dan sejumlah faktor lainnya. Laporan ini mengungkapkan sejumlah
skenario pendorong yang cakupannya cukup luas, dan akibatnya menghasilkan iklim
masa datang dengan berbagai variasi yang luas.
Berdasarkan tingkat pendorong yang ada dalam skenario terserbut, dan dengan
menghitung ketidakpastian yang terjadi dalam kinerja model iklim, IPCC
meramalkan peningkatan suhu secara global sebesar 1,4 -5,8°C dari tahun
1990-2100. Namun demikian, angka rata-rata secara global ini akan dikombinasikan
dengan berbagai response regional yang sangat bervariasi, seperti kemungkinan
apakah wilayah daratan akan lebih cepat memanas dibandingkan dengan suhu lautan,
terutama wilayah daratan yang berada di garis lintang utara bagian atas (dan
sebagian besar terjadi di musim dingin).
Curah hujan juga diramalkan akan mengalami peningkatan sepanjang abad 21,
terutama pada garis lintang utara bagian tengah, meskpun tren ini mungkin lebih
bervariasi di daerah tropis.
Lapisan dan lautan es juga diramalkan akan terus mengalami penurunan di wilayah
kutub utara, dan sungai es serta puncak-puncak gunung es diramalkan akan terus
menurun. (WM)Sumber:
http://lwf.ncdc.noaa.gov/oa/climate/globalwarming.html
Pemanasan Global
http://geo.ugm.ac.id/archives/28
admin on October 2, 2007
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.
Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.
Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
• Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
• Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
• Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.
• Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.
• Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.
Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.
Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb). Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku.
Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :
• globalisasi ekonomi dan implikasinya,
• otonomi daerah dan implikasinya,
• penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,
• pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan,
• pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,
• daur ulang hidrologi,
• penanganan land subsidence,
• pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta
• pemanasan global dan berbagai dampaknya.
Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c) pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua
Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai. (Selengkapnya mohon periksa Tabel 1 pada Lampiran).
Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka air laut dan banjir meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal. (selengkapnya mohon periksa Tabel 2 pada Lampiran).
Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka air laut dan banjir, seperti :
• sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang ± 900 km) serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang ± 250 km).
• beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta pelabuhan Makassar.
• Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur dan Sulawesi bagian Selatan.
• Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Semarang.
• Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.
Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut :
• Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
• Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
• Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip “working with nature”.
Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.
Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu – khususnya hutan tropis - perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir.
Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam kerangka kebijakan penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun demikian, selain penyiapan RTRWN ditempuh pula kebijakan untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci.
Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut :
• Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
• Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya.
• Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).
• Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang, maka diperlukan dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah - khususnya untuk penataan ruang dan pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public awareness campaig, (d) penyiapan dukungan sistem informasi dan database pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, serta (e) penyiapan peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas.
Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semang• at otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor berikut :
• Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir.
• Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan.
• Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah
• • Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders.
Minggu, 27 Februari 2011
Uji Tarik
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari pemakaian logam biasanya berdasarkan sifat yang dimiliki logam tersebut contoh pada pembuatan konstruksi untuk jembatan dibutuhkan logam yang kuat dan tangguh berbeda dengan pemakaian logam untuk pagar rumah yang tidak terlalu memperhatikan sifat mekaniknya. Contoh-contoh sifat mekanik adalah kekuatan tarik, kekerasan, keuletan dan ketangguhan. Pengujian sifat-sifat mekanik ini dapat dilakukan dengan pengujian mekanik. Salah satu pengujian yang digunakan untuk mengetahui sifat mekanis logam adalah uji tarik (tensile test). Uji tarik adalah suatu metode yang digunakan untuk menguji kekuatan suatu bahan/material dengan cara memberikan beban gaya yang berlawanan arah. Hasil yang didapatkan dari pengujian tarik sangat penting untuk rekayasa teknik dan desain produk karena mengahsilkan data kekuatan material. Pengujian uji tarik digunakan untuk mengukur ketahanan suatu material terhadap gaya statis yang diberikan secara lambat.Sifat mekanis logam yang dapat diketahui setelah proses pengujian ini seperti kekuatan tarik, keuletan dan ketangguhan.
Pengujian tarik sangat dibutuhkan untuk menentukan desain suatu produk karena menghasilkan data kekuatan material. Pengujian tarik banyak dilakukan untuk melengkapi informasi rancangan dasar kekuatan suatu bahan dan sebagai data pendukung bagi spesifikasi bahan. Karena dengan pengujian tarik dapat diukur ketahanan suatu material terhadap gaya statis yang diberikan secara perlahan.
Pengujian tarik ini merupakan salah satu pengujian yang penting untuk dilakukan, karena dengan pengujian ini dapat memberikan berbagai informasi mengenai sifat-sifat logam. Dalam bidang industri juga diperlukan pengujian tarik ini untuk mempertimbangkan faktor metalurgi dan faktor mekanis yang tercakup dalam proses perlakuan terhadap logam jadi, untuk memenuhi proses selanjutnya.
Oleh karena pentingnya pengujian tarik ini, kita sebagai mahasiswa metalurgi hendaknya mengetahui mengenai pengujian ini. Dengan adanya kurva tegangan regangan kita dapat mengetahui kekuatan tarik, kekuatan luluh, keuletan, modulus elastisitas, ketangguhan, dan lain-lain. Pada pegujian tarik ini kita juga harus mengetahui dampak pengujian terhadap sifat mekanis dan fisik suatu logam. Dengan mengetahui parameter-parameter tersebut maka kita dapat data dasar mengenai kekuatan suatu bahan atau logam.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uji Tarik
Uji tarik adalah suatu metode yang digunakan untuk menguji kekuatan suatu bahan/material dengan cara memberikan beban gaya yang berlawanan arah dalam satu garis lurus.. Hasil yang didapatkan dari pengujian tarik sangat penting untuk rekayasa teknik dan desain produk karena mengahasilkan data kekuatan material. Pengujian uji tarik digunakan untuk mengukur ketahanan suatu material terhadap gaya statis yang diberikan secara lambat. Mekanisme proses uji tarik seperti pada Gambar 2.1
Gambar 2.1. Mesin uji tarik dilengkapi spesimen ukuran standar.
Seperti pada Gambar 2.1 benda yang di uji tarik diberi pembebanan pada kedua arah sumbunya. Pemberian beban pada kedua arah sumbunya diberi beban yang sama besarnya. Beban yang diberikan pada bahan yang di uji ditransmisikan pada pegangan bahan yang di uji. Dimensi dan ukuran pada benda uji disesuaikan dengan standar baku pengujian.
75 mm
50 mm
Gambar 2.2 Dimensi dan ukuran spesimen untuk uji tarik
Kurva tegangan-regangan teknik dibuat dari hasil pengujian yang didapatkan.
Gambar 2.3 Contoh kurva uji tarik
2.1 Sifat-Sifat Logam Pada Uji Tarik (Tensile Properties)
Pengujian dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mekanis suatu material, khususnya logam diantara sifat-sifat mekanis yang dapat diketahui dari hasil pengujian tarik adalah sebagai berikut:
1. Kekuatan tarik
2. Kuat luluh dari material
3. Keuletan dari material
4. Modulus elastic dari material
5. Kelentingan dari suatu material
6. Ketangguhan.
1. Kekuatan Tarik
Kekuatan tarik atau kekuatan tarik maksimum (Ultimate Tensile Strength) (UTS) adalah beban maksimum dibagi luas penampang lintang awal benda uji.
………………………………………………………… (1)
di mana Su = Kuat tarik
Pmaks = Beban maksimum
A0 = Luas penampang awal
Untuk logam-logam yang liat kekuatan tariknya harus dikaitkan dengan beban maksimum dimana logam dapat menahan sesumbu untuk keadaan yang sangat terbatas.
Tegangan tarik adalah nilai yang paling sering dituliskan sebagai hasil suatu uji tarik, tetapi pada kenyataannya nilai tersebut kurang bersifat mendasar dalam kaitannya dengan kekuatan bahan. Untuk logam-logam yang liat kekuatan tariknya harus dikaitkan dengan beban maksimum, di mana logam dapat menahan beban sesumbu untuk keadaan yang sangat terbatas. Akan ditunjukkan bahwa nilai tersebut kaitannya dengan kekuatan logam kecil sekali kegunaannya untuk tegangan yang lebih kompleks, yakni yang biasanya ditemui. Untuk berapa lama, telah menjadi kebiasaan mendasarkan kekuatan struktur pada kekuatan tarik, dikurangi dengan faktor keamanan yang sesuai.
Kecenderungan yang banyak ditemui adalah menggunakan pendekatan yang lebih rasional yakni mendasarkan rancangan statis logam yang liat pada kekuatan luluhnya. Akan tetapi, karena jauh lebih praktis menggunakan kekuatan tarik untuk menentukan kekuatan bahan, maka metode ini lebih banyak dikenal, dan merupakan metode identifikasi bahan yang sangat berguna, mirip dengan kegunaan komposisi kimia untuk mengenali logam atau bahan. Selanjutnya, karena kekuatan tarik mudah ditentukan dan merupakan sifat yang mudah dihasilkan kembali (reproducible). Kekuatan tersebut berguna untuk keperluan spesifikasi dan kontrol kualitas bahan. Korelasi empiris yang diperluas antara kekuatan tarik dan sifat-sifat bahan misalnya kekerasan dan kekuatan lelah, sering dipergunakan. Untuk bahan-bahan yang getas, kekuatan tarik merupakan kriteria yang tepat untuk keperluan perancangan.
2. Pengukuran Batas Luluh (Yielding)
Batas luluh adalah titik yang menunjukkan perubahan dari deformasi elastis ke deformasi plastis.Tegangan dimana deformasi atau batas luluh mulai teramati tergantung pada kepekaan pengukuran regangan.Telah digunakan berbagai kriteria permulaan batas luluh tergantung pada ketelitian pengukuran tegangan dan data-data yang digunakan.
1. Batas elastik sejati berdasarkan pada pengukuran regangan mikro pada skala regangan 2 X 10-6 inci/inci. Batas elastik nilainya sangat rendah dan dikaitkan dengan gerakan beberapa ratus dislokasi.
2. Batas proporsional adalah tegangan tertinggi untuk daerah hubungan proporsional antara tegangan-regangan. Harga ini diperoleh dengan cara mengamati penyimpangan dari bagian garis lurus kurva tegangan-regangan.
3. Batas elastik adalah tegangan terbesar yang masih dapat ditahan oleh bahan tanpa terjadi regangan sisa permanen yang terukur pada saat beban telah ditiadakan. Dengan bertambahnya ketelitian pengukuran regangan, nilai batas elastiknya menurun hingga suatu batas yang sama dengan batas elastik sejati yang diperoleh dengan cara pengukuran regangan mikro. Dengan ketelitian regangan yang sering digunakan pada kuliah rekayasa (10-4 inci/inci), batas elastik lebih besar daripada batas proporsional. Penentuan batas elastik memerlukan prosedur pengujian yang diberi beban-tak diberi beban (loading-unloading) yang membosankan.
4. Kekuatan luluh adalah tegangan yang dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah kecil deformasi plastis yang ditetapkan. Definisi yang sering digunakan untuk sifat ini adalah kekuatan luluh ofset ditentukan oleh tegangan yang berkaitan dengan perpotongan antara kurva tegangan-regangan dengan garis yang sejajar dengan elastis ofset kurva oleh regangan tertentu. Di Amerika Serikat ofset biasanya ditentukan sebagai regangan 0,2 atau 0,1 persen (e = 0,002 atau 0,001).
so = F (ofset regangan = 0,002) ............................. (2)
Ao
Cara yang baik untuk mengamati kekuatan luluh ofset adalah setelah benda uji diberi pembebanan hingga 0,2% kekuatan luluh ofset dan kemudian pada saat beban ditiadakan maka benda ujinya akan bertambah panjang 0,1 sampai dengan 0,2%, lebih panjang daripada saat dalam keadaan diam.
Tegangan ofset di Britania Raya sering dinyatakan sebagai tegangan uji (proff stress), di mana harga ofsetnya 0,1% atau 0,5%. Kekuatan luluh yang diperoleh dengan metode ofset biasanya dipergunakan untuk perancangan dan keperluan spesifikasi, karena metode tersebut terhindar dari kesukaran dalam pengukuran batas elastik atau batas proporsional.
Beberapa bahan pada dasarnya tidak mempunyai bagian linier pada kurva tegangan-regangannya, misal tembaga lunak atau besi cor kelabu. Untuk bahan-bahan demikian, metode ofset tidak dapat digunakan dan untuk pemakaian praktis, kekuatan luluh didefinisikan sebagai tegangan yang diperlukan untuk menghasilkan regangan total tertentu, misalnya ε = 0,005.
3. Pengukuran Keuletan.
Keuleten adalah kemampuan suatu bahan untuk menahan beban pada daerah plastis tanpa terjadi perpatahan. Secara umum pengukuran keliatan dilakukan untuk memenuhi kepentingan tiga buah hal:
1. Untuk menunjukan perpanjangan di mana suatu logam dapat berdeformasi tanpa terjadi patah dalam suatu proses suatu pembentukan logam, misalnya pengerolan dan ekstrusi.
2. Untuk memberi petunjuk secara umum kepada perancang mengenai kemampuan logam untuk mengalir secara pelastis sebelum patah.
3. Sebagai petunjuk adanya perubahan permukaan kemurnian atau kondisi pengolahan.
4. Modulus Elastisitas
Modulus Elastisitas adalah ukuran kekuatan suatu bahan akan keelastisitasannya. Makin besar modulus, makin kecil regangan elastik yang dihasilkan akibat pemberian tegangan.Modulus elastisitas ditentukan oleh gaya ikat antar atom, karena gaya-gaya ini tidak dapat dirubah tanpa terjadi perubahan mendasar pada sifat bahannya. Maka modulus elastisitas salah satu sifat-sifat mekanik yang tidak dapat diubah. Sifat ini hanya sedikit berubah oleh adanya penambahan paduan, perlakuan panas, atau pengerjaan dingin.
Secara matematis persamaan modulus elastic dapat ditulis sebagai berikut.
………………………………………. (3)
dimana = tegangan
ε = regangan
Tabel 1.1 Harga modulus elastisitas pada berbagai suhu
Bahan Modulus elastisitas, psi x 106
Suhu kamar 4000 F 8000 F 10000 F 12000 F
Baja karbon
Baja tahan karat austenit
Paduan titanium
Paduan aluminium 30,0
28,0
16,5
10,5 27,0
25,5
14,0
9,5 22,5
23,0
10,7
7,8 19,5
22,5
10,1 18,0
21,0
5. Kelentingan (Resilience)
Kelentingan adalah kemampuan suatu bahan untuk menyerap energi pada waktu berdeformasi secara elastis dan kembali ke bentuk awal apabila bebannya dihilangkan. Kelentingan biasanya dinyatakan sebagai modulus kelentingan, yakni energi regangan tiap satuan volume yang dibutuhkan untuk menekan bahan dari tegangan nol hingga tegangan luluh σ0. Untuk menentukan nilai modulus kelentingan dapat dapat digunakan persamaan sebagai berikut.
U0 = ½ σx ex ................................................. ....... (4)
Dari definisi diatas , modulus kelentingan adalah :
UR = ½ soeo = ½ so so = so2 ................... (5)
E 2E
Persamaan ini menunjukan bahwa bahan ideal untuk menahan beban ebergi pada pemakaian di mana bahan tidak mengalami deformasi permanen, misal pegas mekanik, adalah data bahan yang memiliki tegangan luluh tinggi dan modulus elastisitas rendah. Tabel 2 memberikan beberapa modulus kelentingan untuk berbagai bahan.
Tabel 2.1 Modulus kelentingan untuk berbagai bahan
Bahan E, Psi so, Psi Modulus kelentingan UR
Baja karbon rendah 30 X 106 45,000 33,7
Baja pegas karbon tinggi 30 X 106 140,000 320
Duralumunium 10,5 X 106 18,000 17
Tembaga 16 X 106 4,000 5,3
Karet 150 300 300
Polimer akrilik 0,5 X 106 2,000 4,0
6. Ketangguhan (Toughness)
Ketangguhan (Toughness) adalah kemampuan menyerap energi pada daerah plastik. Kemampuan untuk menahan beban yang kadang-kadang diatas tegangan luluh tanpa terjadi patah, dan khususnya diperlukan pada bagian–bagian rantai, roda gigi, kopling mobil barang, dan cangkuk kran. Pada umumnya ketangguhan menggunakan konsep yang sukar dibuktikan atau didefinisikan. Salah satu menyatakan ketangguhan adalah meninjau luas keseluruhan daerah di bawah kurva tegangan-regangan. Luas ini menunjukan jumlah energi tiap satuan volume yang dapat dikenakan kepada bahan tanpa mengakibatkan pecah. Baja pegas karbon tinggi mempunyai kekuatan luluh dan kekuatan tarik lebih tinggi dibandingkan baja struktur karbon menengah. Akan tetapi baja struktur lebih liat dan memiliki perpanjangan total lebih besar. Luas keseluruhan daerah dibawah kurva tegangan-regangan lebih besar untuk baja struktur, oleh karena itu baja struktur merupakan bahan yang lebih tangguh. Hal ini menunjukan bahwa ketangguhan adalah parameter yang terdiri dari dua hal yakni tegangan dan keliatan. Terdapat beberapa cara pendekatan matematik untuk menentukan luas daerah di bawah kurva tegangan- regangan. Luas dibawah kurva dapat didekati dengan persamaan- persamaan berikut :
UT ≈ su ef ...................................... (6)
UT ≈ so + su ef .......................................... (7)
2
Untuk logam- logam getas, kadang-kadang tegangan-regangan dianggap sebagai parabola, dan luas daerah di bawah kurva diberikan oleh persamaan
UT = 2/3 su ef ........................................... (8)
Semua hubungan diatas hanya cara pendekatan untuk mengetahui luas daerah di bawah kurva regangan–tegangan. Kurva-kurva tersebut tidak menggambarkan perilaku yang sejati pada daerah plastis, karena pembuatan kurva didasarkan pada luas semula benda uji. Perbandingan antara regangan-tegangan suatu bahan dengan ketangguhannya tinggi dan rendah dapat kita lihat pada (gambar 3 ) dibawah ini :
Gambar 2.4 Perbandingan antara Kurva-kurva Tegangan-Regangan untuk Bahan
dengan Ketangguhannya Tinggi dan Rendah
Dalam kehidupan sehari-hari pemakaian logam biasanya berdasarkan sifat yang dimiliki logam tersebut contoh pada pembuatan konstruksi untuk jembatan dibutuhkan logam yang kuat dan tangguh berbeda dengan pemakaian logam untuk pagar rumah yang tidak terlalu memperhatikan sifat mekaniknya. Contoh-contoh sifat mekanik adalah kekuatan tarik, kekerasan, keuletan dan ketangguhan. Pengujian sifat-sifat mekanik ini dapat dilakukan dengan pengujian mekanik. Salah satu pengujian yang digunakan untuk mengetahui sifat mekanis logam adalah uji tarik (tensile test). Uji tarik adalah suatu metode yang digunakan untuk menguji kekuatan suatu bahan/material dengan cara memberikan beban gaya yang berlawanan arah. Hasil yang didapatkan dari pengujian tarik sangat penting untuk rekayasa teknik dan desain produk karena mengahsilkan data kekuatan material. Pengujian uji tarik digunakan untuk mengukur ketahanan suatu material terhadap gaya statis yang diberikan secara lambat.Sifat mekanis logam yang dapat diketahui setelah proses pengujian ini seperti kekuatan tarik, keuletan dan ketangguhan.
Pengujian tarik sangat dibutuhkan untuk menentukan desain suatu produk karena menghasilkan data kekuatan material. Pengujian tarik banyak dilakukan untuk melengkapi informasi rancangan dasar kekuatan suatu bahan dan sebagai data pendukung bagi spesifikasi bahan. Karena dengan pengujian tarik dapat diukur ketahanan suatu material terhadap gaya statis yang diberikan secara perlahan.
Pengujian tarik ini merupakan salah satu pengujian yang penting untuk dilakukan, karena dengan pengujian ini dapat memberikan berbagai informasi mengenai sifat-sifat logam. Dalam bidang industri juga diperlukan pengujian tarik ini untuk mempertimbangkan faktor metalurgi dan faktor mekanis yang tercakup dalam proses perlakuan terhadap logam jadi, untuk memenuhi proses selanjutnya.
Oleh karena pentingnya pengujian tarik ini, kita sebagai mahasiswa metalurgi hendaknya mengetahui mengenai pengujian ini. Dengan adanya kurva tegangan regangan kita dapat mengetahui kekuatan tarik, kekuatan luluh, keuletan, modulus elastisitas, ketangguhan, dan lain-lain. Pada pegujian tarik ini kita juga harus mengetahui dampak pengujian terhadap sifat mekanis dan fisik suatu logam. Dengan mengetahui parameter-parameter tersebut maka kita dapat data dasar mengenai kekuatan suatu bahan atau logam.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uji Tarik
Uji tarik adalah suatu metode yang digunakan untuk menguji kekuatan suatu bahan/material dengan cara memberikan beban gaya yang berlawanan arah dalam satu garis lurus.. Hasil yang didapatkan dari pengujian tarik sangat penting untuk rekayasa teknik dan desain produk karena mengahasilkan data kekuatan material. Pengujian uji tarik digunakan untuk mengukur ketahanan suatu material terhadap gaya statis yang diberikan secara lambat. Mekanisme proses uji tarik seperti pada Gambar 2.1
Gambar 2.1. Mesin uji tarik dilengkapi spesimen ukuran standar.
Seperti pada Gambar 2.1 benda yang di uji tarik diberi pembebanan pada kedua arah sumbunya. Pemberian beban pada kedua arah sumbunya diberi beban yang sama besarnya. Beban yang diberikan pada bahan yang di uji ditransmisikan pada pegangan bahan yang di uji. Dimensi dan ukuran pada benda uji disesuaikan dengan standar baku pengujian.
75 mm
50 mm
Gambar 2.2 Dimensi dan ukuran spesimen untuk uji tarik
Kurva tegangan-regangan teknik dibuat dari hasil pengujian yang didapatkan.
Gambar 2.3 Contoh kurva uji tarik
2.1 Sifat-Sifat Logam Pada Uji Tarik (Tensile Properties)
Pengujian dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat mekanis suatu material, khususnya logam diantara sifat-sifat mekanis yang dapat diketahui dari hasil pengujian tarik adalah sebagai berikut:
1. Kekuatan tarik
2. Kuat luluh dari material
3. Keuletan dari material
4. Modulus elastic dari material
5. Kelentingan dari suatu material
6. Ketangguhan.
1. Kekuatan Tarik
Kekuatan tarik atau kekuatan tarik maksimum (Ultimate Tensile Strength) (UTS) adalah beban maksimum dibagi luas penampang lintang awal benda uji.
………………………………………………………… (1)
di mana Su = Kuat tarik
Pmaks = Beban maksimum
A0 = Luas penampang awal
Untuk logam-logam yang liat kekuatan tariknya harus dikaitkan dengan beban maksimum dimana logam dapat menahan sesumbu untuk keadaan yang sangat terbatas.
Tegangan tarik adalah nilai yang paling sering dituliskan sebagai hasil suatu uji tarik, tetapi pada kenyataannya nilai tersebut kurang bersifat mendasar dalam kaitannya dengan kekuatan bahan. Untuk logam-logam yang liat kekuatan tariknya harus dikaitkan dengan beban maksimum, di mana logam dapat menahan beban sesumbu untuk keadaan yang sangat terbatas. Akan ditunjukkan bahwa nilai tersebut kaitannya dengan kekuatan logam kecil sekali kegunaannya untuk tegangan yang lebih kompleks, yakni yang biasanya ditemui. Untuk berapa lama, telah menjadi kebiasaan mendasarkan kekuatan struktur pada kekuatan tarik, dikurangi dengan faktor keamanan yang sesuai.
Kecenderungan yang banyak ditemui adalah menggunakan pendekatan yang lebih rasional yakni mendasarkan rancangan statis logam yang liat pada kekuatan luluhnya. Akan tetapi, karena jauh lebih praktis menggunakan kekuatan tarik untuk menentukan kekuatan bahan, maka metode ini lebih banyak dikenal, dan merupakan metode identifikasi bahan yang sangat berguna, mirip dengan kegunaan komposisi kimia untuk mengenali logam atau bahan. Selanjutnya, karena kekuatan tarik mudah ditentukan dan merupakan sifat yang mudah dihasilkan kembali (reproducible). Kekuatan tersebut berguna untuk keperluan spesifikasi dan kontrol kualitas bahan. Korelasi empiris yang diperluas antara kekuatan tarik dan sifat-sifat bahan misalnya kekerasan dan kekuatan lelah, sering dipergunakan. Untuk bahan-bahan yang getas, kekuatan tarik merupakan kriteria yang tepat untuk keperluan perancangan.
2. Pengukuran Batas Luluh (Yielding)
Batas luluh adalah titik yang menunjukkan perubahan dari deformasi elastis ke deformasi plastis.Tegangan dimana deformasi atau batas luluh mulai teramati tergantung pada kepekaan pengukuran regangan.Telah digunakan berbagai kriteria permulaan batas luluh tergantung pada ketelitian pengukuran tegangan dan data-data yang digunakan.
1. Batas elastik sejati berdasarkan pada pengukuran regangan mikro pada skala regangan 2 X 10-6 inci/inci. Batas elastik nilainya sangat rendah dan dikaitkan dengan gerakan beberapa ratus dislokasi.
2. Batas proporsional adalah tegangan tertinggi untuk daerah hubungan proporsional antara tegangan-regangan. Harga ini diperoleh dengan cara mengamati penyimpangan dari bagian garis lurus kurva tegangan-regangan.
3. Batas elastik adalah tegangan terbesar yang masih dapat ditahan oleh bahan tanpa terjadi regangan sisa permanen yang terukur pada saat beban telah ditiadakan. Dengan bertambahnya ketelitian pengukuran regangan, nilai batas elastiknya menurun hingga suatu batas yang sama dengan batas elastik sejati yang diperoleh dengan cara pengukuran regangan mikro. Dengan ketelitian regangan yang sering digunakan pada kuliah rekayasa (10-4 inci/inci), batas elastik lebih besar daripada batas proporsional. Penentuan batas elastik memerlukan prosedur pengujian yang diberi beban-tak diberi beban (loading-unloading) yang membosankan.
4. Kekuatan luluh adalah tegangan yang dibutuhkan untuk menghasilkan sejumlah kecil deformasi plastis yang ditetapkan. Definisi yang sering digunakan untuk sifat ini adalah kekuatan luluh ofset ditentukan oleh tegangan yang berkaitan dengan perpotongan antara kurva tegangan-regangan dengan garis yang sejajar dengan elastis ofset kurva oleh regangan tertentu. Di Amerika Serikat ofset biasanya ditentukan sebagai regangan 0,2 atau 0,1 persen (e = 0,002 atau 0,001).
so = F (ofset regangan = 0,002) ............................. (2)
Ao
Cara yang baik untuk mengamati kekuatan luluh ofset adalah setelah benda uji diberi pembebanan hingga 0,2% kekuatan luluh ofset dan kemudian pada saat beban ditiadakan maka benda ujinya akan bertambah panjang 0,1 sampai dengan 0,2%, lebih panjang daripada saat dalam keadaan diam.
Tegangan ofset di Britania Raya sering dinyatakan sebagai tegangan uji (proff stress), di mana harga ofsetnya 0,1% atau 0,5%. Kekuatan luluh yang diperoleh dengan metode ofset biasanya dipergunakan untuk perancangan dan keperluan spesifikasi, karena metode tersebut terhindar dari kesukaran dalam pengukuran batas elastik atau batas proporsional.
Beberapa bahan pada dasarnya tidak mempunyai bagian linier pada kurva tegangan-regangannya, misal tembaga lunak atau besi cor kelabu. Untuk bahan-bahan demikian, metode ofset tidak dapat digunakan dan untuk pemakaian praktis, kekuatan luluh didefinisikan sebagai tegangan yang diperlukan untuk menghasilkan regangan total tertentu, misalnya ε = 0,005.
3. Pengukuran Keuletan.
Keuleten adalah kemampuan suatu bahan untuk menahan beban pada daerah plastis tanpa terjadi perpatahan. Secara umum pengukuran keliatan dilakukan untuk memenuhi kepentingan tiga buah hal:
1. Untuk menunjukan perpanjangan di mana suatu logam dapat berdeformasi tanpa terjadi patah dalam suatu proses suatu pembentukan logam, misalnya pengerolan dan ekstrusi.
2. Untuk memberi petunjuk secara umum kepada perancang mengenai kemampuan logam untuk mengalir secara pelastis sebelum patah.
3. Sebagai petunjuk adanya perubahan permukaan kemurnian atau kondisi pengolahan.
4. Modulus Elastisitas
Modulus Elastisitas adalah ukuran kekuatan suatu bahan akan keelastisitasannya. Makin besar modulus, makin kecil regangan elastik yang dihasilkan akibat pemberian tegangan.Modulus elastisitas ditentukan oleh gaya ikat antar atom, karena gaya-gaya ini tidak dapat dirubah tanpa terjadi perubahan mendasar pada sifat bahannya. Maka modulus elastisitas salah satu sifat-sifat mekanik yang tidak dapat diubah. Sifat ini hanya sedikit berubah oleh adanya penambahan paduan, perlakuan panas, atau pengerjaan dingin.
Secara matematis persamaan modulus elastic dapat ditulis sebagai berikut.
………………………………………. (3)
dimana = tegangan
ε = regangan
Tabel 1.1 Harga modulus elastisitas pada berbagai suhu
Bahan Modulus elastisitas, psi x 106
Suhu kamar 4000 F 8000 F 10000 F 12000 F
Baja karbon
Baja tahan karat austenit
Paduan titanium
Paduan aluminium 30,0
28,0
16,5
10,5 27,0
25,5
14,0
9,5 22,5
23,0
10,7
7,8 19,5
22,5
10,1 18,0
21,0
5. Kelentingan (Resilience)
Kelentingan adalah kemampuan suatu bahan untuk menyerap energi pada waktu berdeformasi secara elastis dan kembali ke bentuk awal apabila bebannya dihilangkan. Kelentingan biasanya dinyatakan sebagai modulus kelentingan, yakni energi regangan tiap satuan volume yang dibutuhkan untuk menekan bahan dari tegangan nol hingga tegangan luluh σ0. Untuk menentukan nilai modulus kelentingan dapat dapat digunakan persamaan sebagai berikut.
U0 = ½ σx ex ................................................. ....... (4)
Dari definisi diatas , modulus kelentingan adalah :
UR = ½ soeo = ½ so so = so2 ................... (5)
E 2E
Persamaan ini menunjukan bahwa bahan ideal untuk menahan beban ebergi pada pemakaian di mana bahan tidak mengalami deformasi permanen, misal pegas mekanik, adalah data bahan yang memiliki tegangan luluh tinggi dan modulus elastisitas rendah. Tabel 2 memberikan beberapa modulus kelentingan untuk berbagai bahan.
Tabel 2.1 Modulus kelentingan untuk berbagai bahan
Bahan E, Psi so, Psi Modulus kelentingan UR
Baja karbon rendah 30 X 106 45,000 33,7
Baja pegas karbon tinggi 30 X 106 140,000 320
Duralumunium 10,5 X 106 18,000 17
Tembaga 16 X 106 4,000 5,3
Karet 150 300 300
Polimer akrilik 0,5 X 106 2,000 4,0
6. Ketangguhan (Toughness)
Ketangguhan (Toughness) adalah kemampuan menyerap energi pada daerah plastik. Kemampuan untuk menahan beban yang kadang-kadang diatas tegangan luluh tanpa terjadi patah, dan khususnya diperlukan pada bagian–bagian rantai, roda gigi, kopling mobil barang, dan cangkuk kran. Pada umumnya ketangguhan menggunakan konsep yang sukar dibuktikan atau didefinisikan. Salah satu menyatakan ketangguhan adalah meninjau luas keseluruhan daerah di bawah kurva tegangan-regangan. Luas ini menunjukan jumlah energi tiap satuan volume yang dapat dikenakan kepada bahan tanpa mengakibatkan pecah. Baja pegas karbon tinggi mempunyai kekuatan luluh dan kekuatan tarik lebih tinggi dibandingkan baja struktur karbon menengah. Akan tetapi baja struktur lebih liat dan memiliki perpanjangan total lebih besar. Luas keseluruhan daerah dibawah kurva tegangan-regangan lebih besar untuk baja struktur, oleh karena itu baja struktur merupakan bahan yang lebih tangguh. Hal ini menunjukan bahwa ketangguhan adalah parameter yang terdiri dari dua hal yakni tegangan dan keliatan. Terdapat beberapa cara pendekatan matematik untuk menentukan luas daerah di bawah kurva tegangan- regangan. Luas dibawah kurva dapat didekati dengan persamaan- persamaan berikut :
UT ≈ su ef ...................................... (6)
UT ≈ so + su ef .......................................... (7)
2
Untuk logam- logam getas, kadang-kadang tegangan-regangan dianggap sebagai parabola, dan luas daerah di bawah kurva diberikan oleh persamaan
UT = 2/3 su ef ........................................... (8)
Semua hubungan diatas hanya cara pendekatan untuk mengetahui luas daerah di bawah kurva regangan–tegangan. Kurva-kurva tersebut tidak menggambarkan perilaku yang sejati pada daerah plastis, karena pembuatan kurva didasarkan pada luas semula benda uji. Perbandingan antara regangan-tegangan suatu bahan dengan ketangguhannya tinggi dan rendah dapat kita lihat pada (gambar 3 ) dibawah ini :
Gambar 2.4 Perbandingan antara Kurva-kurva Tegangan-Regangan untuk Bahan
dengan Ketangguhannya Tinggi dan Rendah
Pengeecoran
PENDAHULUAN
Coran dibuat dari logam yang dicairkan, dituang kedalam cetakan, kemudian dibiarkan dingin dan membeku. Sejarah pegecoran dimulai ketika orang mengetahui bagaimana mencairkan logam dan memasukan kedalam cetakan. Hal itu terjadi kira-kira tahun 4.000 sebelum masehi.
Awal penggunaan logam adalah ketika orang membuat perhiasan dari emas dan perak tempaan, dan kemudian membuat senjata atau mata bajak dengan menempa tembaga, hal itu karena dimungkinkan karena logam-logam ini ditemukan di alam dalam keadaan murni, sehingga dengan mudah orang-orang dapat menempanya. Pengecoran perunggu pertama dilakukan di Mesopotamia kemudian berkembang ke Asia Tenggara, India, dan Cina. Proses pengecoran ini dilakukan dengan cara menuang logam cair kedalam rongga yang terbuat dari batu. Bahan batu tersebut adalah pasir, batu gamping dan tanah liat untuk menguatkannya.
Cetakan biasanya dibuat dengan cara memadatkan pasir. Pasir yang biasa digunakan adalah pasir alam atau pasir buatan yang mengandung kadar lempung. Cetakan pasir mudah dibuat dan tidak mahal harganya asalkan memakai pasir yang cocok. Pasir cetak yang baik harus memiliki sifat-sifat tertentu yang memenuhi persyaratan diantaranya adalah permeabilitas. Pengujian permeabilitas dilakukan untuk mengetahui kemampuan aliran udara atau gas saat proses penuangan logam cair.
Pengecoran merupakan salah satu cara pembentukan logam banyak digunakan orang. Kebutuhan akan teknik pengecoran ini meningkat seiring dengan banyak permintaan logam yang dibutuhkan masyarakat. Pembangunan di bidang industri misalnya, dalam memenuhi kebutuhan akan mesin-mesin produksi yang sebagian besar terbuat dari logam semakin hari semakin bertambah. Untuk membuat coran dilakukan proses-proses seperti pencairan logam, membuat cetakan, menuang, membongkar dan membersihkan cetakan. Proses mencairkan logam dilakukan dalam berbagai macam tanur seperti tanur induksi frekwensi rendah yang digunakan untuk besi cor, tanur busur listrik yang digunakan untuk baja coran dan tanur krus untuk tembaga dan logam paduan ringan lainnya. Dalam proses pengecoran banyak variabel yang menentukan produk coran maka dibutuhkan kehati-hatian dalam proses ini, baik dalam mendesain bentuk cetakan, pembuatan cetakan, penuangan dan pembersihan cetakan.
Oleh karena itu penting sekali untuk mengenal dan memahami teknik-teknik dari pengecoran. Maka, perlu diadakan praktikum untuk mengenalkan teknik pengecoran pada aplikasinya.
TINJAUAN PUSTAKA
Awal penggunaan logam oleh orang ialah ketika orang membuat perhiasan dari emas atau perak tempaan, dan kemudian membuat senjata atau mata bajak dengan menempa baja,. Hal itu dimungkinkan karena logam-logam ini terdapat di alam dalam keadaan murni, sehingga dengan mudah orang dapat menempanya. Kemudian secara kebetulan orang menemukan tembaga mencair, selanjutnya mengetahui cara untuk menuangkan logam cair ke dalam cetakan. Dengan demikian untuk pertama kalinya orang dapat membuat coran yang berbentuk rumit, seperti perabot rumah tangga atau perhiasan.
Produk yang dihasilkan pada waktu itu adalah meriam, peluru meriam, tungku, pipa, dan lain-lain. Cara pengecoran pada zaman itu adalah menuangkan secara langsung logam cair yang didapat dari bijih besi ke dalam cetakan. Jadi tidak dengan jalan mencairkan kembali besi kasar seperti yang kita lakukan sekarang ini. Kokas ditemukan di Inggris pada abad 18, yang kemudian di Perancis diusahakan agar kokas tersebut dapat dipakai untuk mencairkan kembali besi kasar dalam tanur kecil dalam usaha membuat coran. Kemudian tanur yang serupa dengan tanur kupola yang ada sekarang, di buat Inggris, dengan cara mencairkan besi kasar yang dilakukan kira-kira sama dengan cara yang dilakukan orang sekarang.
2.2 Pengertian Pengecoran
Pengecoran adalah sebagian dari proses pembentukan logam melalui fasa cair dengan menggunkaan cetakan (mould), adapun proses pengecoran meliputi pembuatan cetakan, proses peleburan logam, penuangan logam cair kedalam cetakan, dan pembersihan coran serta daur ulang pasir cetak.
Produk dari pengecoran biasa disebut dengan coran atau benda cor. Pengecoran juga dapat diistilahkan denagan foundry, namun kata foundry mempunyai artian yang lebih luas, yaitu segala macam yang berhubungan dengan pengecoran. Menurut definisinya pengecoran adalah menuangkan cairan logam kedalam suatu cetakan yang berongga kemudian dibiarkan dingin dan membeku mengikuti bentuk cetakan.
2.3 Membuat Coran
Pada saat membuat coran harus dilakukan proses-proses seperti : pencairan logam, membuat cetakan, menuang, membongkar dan membersihkan coran.Untuk mencairkan logam bermacam-macam tanur dipakai, umumnya kupola atau tanur induksi frekuensi rendah dipergunakan untuk besi cor, tanur busur listrik atau tanur induksi frekuensi tinggi dipergunakan untuk baja cor dan tanur krus untuk paduan tembaga atau coran paduan ringan, karena tanur-tanur ini dapat memberikan logam cair yang baik dan sangat ekonomis untuk logam-logam tersebut.
Bahan baku Tungku Ladel
Sistem pengolahan Mesin Pembuat Penuangan
pasir cetakan
Pasir Rangka cetak
Pembongkaran
Pembersihan
Pemeriksaan
Gambar 1. Aliran Proses Pembuatan Coran.
Di bawah ini akan dijelaskan macam-macam dari pengecoran, yaitu sebagai berikut :
1. Pengecoran cetak adalah satu cara pengecoran dimana logam cair ditekan ke dalam cetakan logam dengan tekanan tinggi, coran tipis dapat dibuat dengan cara ini.
2. Pengecoran tekanan rendah adalah satu cara pengecoran dimana diberikan tekanan yang sedikit lebih tinggi dari tekanan atmosfir pada permukaan logam dalam tanur, tekanan ini mengakibatkan mengalirnya logam cair ke atas melalui pipa ke dalam cetakan.
3. Pengecoran sentrifugal adalah suatu cara pengecoran dimana cetakan diputar dan logam cair dituangkan ke dalamnya, sehingga logam cair tertekan oleh gaya sentrifugal dan kemudian membeku. Coran berbentuk pipa dapat dibuat dengan jalan tersebut.
Pada saat setelah penuangan, coran dikeluarkan dari cetakan dan dibersihkan, bagian-bagian yang tidak perlu dibuang dari coran. Kemudian coran diselesaikan dan dibersihkan dengan disemprot mimis atau semacamnya agar memberikan rupa dan kerusakan, dan akhirnya dilakukan pemeriksaan dimensi.
Oleh karena itu untuk membuat coran yang baik, perencana dan pembuat coran perlu mengerti mengenai pengecoran. Bahan-bahan untuk pengecoran yang biasa digunakan yaitu coran besi cor, coran baja, coran paduan tembaga, coran logam ringan, dan coran paduan lain.
2.4 Pola
Hal pertama yang harus dilakukan pada pembuatan pola adalah mendeskripsikan gambar perencanaan produk menjadi gambar untuk pengecoran, sehingga pola dapat memenuhi beberapa ketentuan-ketentuan, antara lain:
1. Pola harus mudah dikeluarkan
2. Penempatan Inti harus mudah
3. Sistim saluran harus dibuat sempurna untuk mendapatkan aliran logam
cair yang optimum
4. Kemiringan Pola
Setiap pola yang akan dibuat harus memiliki kemiringan tertentu yang bertujuan untuk memudahkan pencabutan pola dari cetakannya sehingga tidak mengalami kerusakan. Kemiringan setiap pola tergantung pada tinggi rendahnya ukuran pola tersebut, yaitu:
a) Apabila ukuran dari suatu pola tinggi maka kemiringannya kecil.
b) Apabila ukuran dari suatu pola rendah maka kemiringannya besar.
5. Permesinan
Setelah dilakukan proses pengecoran, maka suatu produk coran akan dilanjutkan dengan proses permesinan. Oleh karena itu dalam hal pembuatan pola harus memperhatikan tambahan ukuran untuk perlakuan permesinan. Biasanya penambahan ukuran ini hanya diberikan pada bagian-bagian tetentu yang akan dilakukan proses permesinan. Penentuan ketebalan ini berbeda-beda, tergantung pada bahan, ukuran, serta keadaan pekerjaan mekanik.
6. Penyusutan Pola
Pada pembuatan setiap pola harus diketahui dahulu material apa yang akan digunakan untuk pembuatan produk corannya contohnya: Alumunium, besi, baja, kuningan, tembaga dan lain-lain, karena hal ini akan mempengaruhi faktor penyusutan ketika proses pembekuan dan pendinginan logam. Besarnya penyusutan sering tidak homogen, hal ini tergantung pada bahan coran, bentuk, tempat, tebal coran ataupun ukuran dan kekuatan inti.
2.4.1 Jenis Pola
Pola mempunyai berbagai macam bentuk antara lain adalah :
1. Pola pejal
Pola pejal adalah pola yang biasa dipakai yang bentuknya hampir
serupa dengan bentuk coran.
2. Pola Pelat Pasangan
Pola ini merupakan pelat dimana pada kedua belahnya ditempelkan pola demikian juga saluran turun, saluran masuk, dan penambah. Pla ini cocok sekali untuk masa produksi dari coran kecil. Pola biasanya dibuat dari logam atau plastik.
3. Pola Pelat Kup dan Drag
Dalam hal ini pola kayu, logam atau plastik dilekatkan pada dua pelat demikian juga saluran turun pengalir, saluran masuk, dan penambah. Pelat tersebut adalah pelat kup dan pelat drag. Kedua pelat dijamin oleh pena-pena agar bagian atas dan bawah dari coran menjadi cocok. Pola semacam ini dipakai untuk meningkatkan produksi.
4. Pola Cetakan Sapuan
Dalam hal ini bentuk dari coran silinder atau bentuk benda putar. Alat ini dibuat dari pelat dengan sebuah penggeret dan pemutar pada tengahnya. Pembuatan cetakan dilakukan dengan memutar penggeret disekeliling pemutar.
5. Pola Penggeret dan Penuntun
Ini dipergunakan untuk pipa lurus atau pipa lengkung yang penampangnya tidak berubah. Penuntun dibuat dari kayu, dan pembuatan cetakan dilakukan dengan menggerakkan penggeret sepanjang penuntun. Harga pola ini tidak mahal, tetapi pembuatan cetakannya membutuhkan waktu dua atau tiga kali waktu yang diperlukanuntuk pembuatan cetakan biasa dengan pola tunggal.
6. Pola Penggeret Berputar dengan Rangka Cetak
Ini suatu kasus dimana bagian pola dapat diputar secara konsentris. Kedua ujung dari penggeret mempunyai poros. Pembuatan cetakan dilakukan dengan mengayunkan penggeret sekeliling porosnya.
2.4.2 Bahan Pola
Adapun syarat-syarat kayu yang dapat digunakan dalam pembentukan pola
antara lain:
1. Kayu dalam kondisi kering (agar tidak terjadi pelentingan).
2. Mempunyai serat-serat yang halus.
3. Tidak nudah retak atau pecah akibat pengerjaan.
4. Mudah dikerjakan tangan ataupun mesin.
2.5 Pembuatan Cetakan Pasir
Pasir cetak merupakan suatu bahan yang memiliki sifat-sifat tertentu yang dapat digunakan sebagai cetakan, sehingga tidak semua pasir dapat dijadikan pasir cetak. Dapat dikatakan bahwa coran yang baik dihasilkan dari logam yang sesuai dan dituang ke dalam cetakan yang baik, yang terbuat dari pasir cetak yang baik pula. Sifat-sifat pasir cetak yang baik adalah:
1. Permeabilitas yang cukup baik untuk melewatkan dengan cepat gas yang terjadi pada saat logam cair dituang ke dalam cetakan.
2. Kekuatan yang cukup baik untuk menahan tekanan pada saat logam cair dituang ke dalam cetakan.
3. Mampu cetaknya baik.
4. Mampu padatnya baik.
5. Dapat digunakan ulang untuk cetakan.
6. Mampu ambruk setelah penuangannya baik.
7. Tidak menimbulkan polusi.
8. Harganya murah.
Ada beberapa jenis cetakan yaitu antara lain :
1. Cetakan pasir basah (green sand moulds)
2. Cetakan pasir muka kering (skin dried moulds).
3. Cetakan pasir kering (dry sand moulds).
4. Cetakan semen (cemen process moulds).
5. Cetakan pasir proses CO2 (CO2 process moulds).
6. Cetakan pasir kulit kerang (croning/shell process moulds)
2.6 Peleburan
Secara konstruksi, tanur ini lebih sederhana dari tanur induksi frekuensi menengah, karena tidak diperlukan peralatan perubah frekuensi. Frekuensi yang digunakan adalah 50 Hz (frekuensi jaringan listrik). Frekuensi yang rendah mengakibatkan gejolak pada cairan di dalam tanur, tetapi tidak mampu melebur bahan baku yang berukuran kecil. Oleh karena itu pada tanur ini harus selalu ditinggalkan cairan paling sediit ¼ dari isi tanur saat penuangan bila tanur akan dioperasikan kembali.
Gambar 2. Tanur Induksi (kiri) dan Tanur Induksi Saluran (kanan).
2.7 Penuangan
Proses penuangan ini merupakan proses penting dalam pengecoran walaupun berlangsung dalam waktu yang pendek saja. Kecerobohan yang dilakukan dapat membahayakan keselamatan pekerja dan selalu berakibat rusaknya benda tuangan. Untuk menjamin hasil yang baik pada pekerjaan ini, maka digunakan ladel penuangan yang memenuhi syarat-syarat teknis maupun keselamatan kerja. Ladel ini harus digunakan untuk membawa logam cair dari tanur ke cetakan dan menuangkannya dengan aman.
Ladel penuang terbuat dari pelat baja yang bagian dalamnya dilapisi dengan tanah liat, pasir cetak ataupun bahan tahan api lain dan dikeringkan dengan baik. Ladel yang lembab sama sekali tidak berguna, karena pada saat diisi akan menimbulkan uap air yang bercampur dengan cairan. Hal ini akan menyebabkan timbulnya gas pada tuangan. Disamping itu bahaya yang lebih besar timbul karena pecahnya lapisan pelindung menyebabkan cairan tumpah.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat penuangan :
1. Menahan terak
Terak akan mengambang dipermukaan cairan dan diusahakan tidak turut tertuang pada cetakan, oleh karena itu terak ini sesaat sebelum penuangan disingkirkan dengan bantuan batang penyingkir. Batang penyingkir harus kering dan dipanaskan terlebih dahulu, jika tidak maka akan terjadi uap air atau bahkan ledakan yang cukup berbahaya. Cara lain yang dilakukan pada ladel kecil yaitu dengan menaburkan pengikat terak pada permukaan cairan sampai terak menjadi suatu lapisan pada permukaan cairan dan tertinggal di dalam ladel pada saat penuangan. Pengikat terak tersebut adalah sekam maupun bahan industri (slag remover).
2. Posisi Ladel
Posisi ladel harus serendah dan sedekat mungkin dengan cawan tuang, hal ini bertujuan untuk mengurangi oksidasi, menghindari pusaran, dan erosi.
3. Penuangan
Cara penuangan terdiri dari 3 macam, yaitu : penuangan radial, tangensial, dan sentral. Dari ketiganya hanya cara penuangan radial yang dibenarkan, karena dengan cara ini pusaran maupun aliran yang kacau dapat dikurangi. Dalam hal ini bentuk cawan tuang sangat mempengaruhi penuangan.
4. Waktu penuangan
Waktu penuangan ini dapat dihitung dengan tepat. Faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungan ini adalah tinggi penuangan, luas penampang saluran masuk, dan volume tuangan. Maka tugas penuang cetakan di sini hanyalah menuangkan cairan ke dalam cetakan pada ketinggian yang sesuai dengan yang dianjurkan.
2.8 Proses Pembersihan
Pekerjaan pembersihan adalah pekerjaan lanjut dari pengecoran untuk membebaskan hasil tuangan (coran) dari pasir cetakan, sistem penuangan, dan penambah, sirip tuangan dan bagian lain yang tidak dikehendaki. Proses ini meliputi pembongkaran, penyemprotan, dan penyelesaian.
1. Pembongkaran
Pembongkaran adalah pekerjaan pembebasan tuangan dari cetakannya terutama pasir cetak.
a) Penggetar tempel
Penggetar tempel menggantikan cara lama di mana dalam membebaskan tuangan dari pasir cetak dilakukan dengan pemukulan pada rangka cetaknya. Penggetar hanya sekedar ditempelkan pada rangka cetak kemudian bergetar secara elektris, maupun secara hidrolis. Karena getaran ini, pasir akan rontok. Penggetar ini hanya digunakan untuk pasir dengan pengikat bentonit.
Gambar 3. Penggetar Tempel.
b) Meja penggetar
Meja penggetar bekerja lebih praktis dari pada penggetar tempel, dimana cetakan hanya diatasnya dan digetarkan. Pasir akan rontok, menembus lubang pada lantai penggetar dan dengan ban berjalan dikirim kembali ke mesin pendaur ulang
Gambar 4. Meja Penggetar.
Coran dibuat dari logam yang dicairkan, dituang kedalam cetakan, kemudian dibiarkan dingin dan membeku. Sejarah pegecoran dimulai ketika orang mengetahui bagaimana mencairkan logam dan memasukan kedalam cetakan. Hal itu terjadi kira-kira tahun 4.000 sebelum masehi.
Awal penggunaan logam adalah ketika orang membuat perhiasan dari emas dan perak tempaan, dan kemudian membuat senjata atau mata bajak dengan menempa tembaga, hal itu karena dimungkinkan karena logam-logam ini ditemukan di alam dalam keadaan murni, sehingga dengan mudah orang-orang dapat menempanya. Pengecoran perunggu pertama dilakukan di Mesopotamia kemudian berkembang ke Asia Tenggara, India, dan Cina. Proses pengecoran ini dilakukan dengan cara menuang logam cair kedalam rongga yang terbuat dari batu. Bahan batu tersebut adalah pasir, batu gamping dan tanah liat untuk menguatkannya.
Cetakan biasanya dibuat dengan cara memadatkan pasir. Pasir yang biasa digunakan adalah pasir alam atau pasir buatan yang mengandung kadar lempung. Cetakan pasir mudah dibuat dan tidak mahal harganya asalkan memakai pasir yang cocok. Pasir cetak yang baik harus memiliki sifat-sifat tertentu yang memenuhi persyaratan diantaranya adalah permeabilitas. Pengujian permeabilitas dilakukan untuk mengetahui kemampuan aliran udara atau gas saat proses penuangan logam cair.
Pengecoran merupakan salah satu cara pembentukan logam banyak digunakan orang. Kebutuhan akan teknik pengecoran ini meningkat seiring dengan banyak permintaan logam yang dibutuhkan masyarakat. Pembangunan di bidang industri misalnya, dalam memenuhi kebutuhan akan mesin-mesin produksi yang sebagian besar terbuat dari logam semakin hari semakin bertambah. Untuk membuat coran dilakukan proses-proses seperti pencairan logam, membuat cetakan, menuang, membongkar dan membersihkan cetakan. Proses mencairkan logam dilakukan dalam berbagai macam tanur seperti tanur induksi frekwensi rendah yang digunakan untuk besi cor, tanur busur listrik yang digunakan untuk baja coran dan tanur krus untuk tembaga dan logam paduan ringan lainnya. Dalam proses pengecoran banyak variabel yang menentukan produk coran maka dibutuhkan kehati-hatian dalam proses ini, baik dalam mendesain bentuk cetakan, pembuatan cetakan, penuangan dan pembersihan cetakan.
Oleh karena itu penting sekali untuk mengenal dan memahami teknik-teknik dari pengecoran. Maka, perlu diadakan praktikum untuk mengenalkan teknik pengecoran pada aplikasinya.
TINJAUAN PUSTAKA
Awal penggunaan logam oleh orang ialah ketika orang membuat perhiasan dari emas atau perak tempaan, dan kemudian membuat senjata atau mata bajak dengan menempa baja,. Hal itu dimungkinkan karena logam-logam ini terdapat di alam dalam keadaan murni, sehingga dengan mudah orang dapat menempanya. Kemudian secara kebetulan orang menemukan tembaga mencair, selanjutnya mengetahui cara untuk menuangkan logam cair ke dalam cetakan. Dengan demikian untuk pertama kalinya orang dapat membuat coran yang berbentuk rumit, seperti perabot rumah tangga atau perhiasan.
Produk yang dihasilkan pada waktu itu adalah meriam, peluru meriam, tungku, pipa, dan lain-lain. Cara pengecoran pada zaman itu adalah menuangkan secara langsung logam cair yang didapat dari bijih besi ke dalam cetakan. Jadi tidak dengan jalan mencairkan kembali besi kasar seperti yang kita lakukan sekarang ini. Kokas ditemukan di Inggris pada abad 18, yang kemudian di Perancis diusahakan agar kokas tersebut dapat dipakai untuk mencairkan kembali besi kasar dalam tanur kecil dalam usaha membuat coran. Kemudian tanur yang serupa dengan tanur kupola yang ada sekarang, di buat Inggris, dengan cara mencairkan besi kasar yang dilakukan kira-kira sama dengan cara yang dilakukan orang sekarang.
2.2 Pengertian Pengecoran
Pengecoran adalah sebagian dari proses pembentukan logam melalui fasa cair dengan menggunkaan cetakan (mould), adapun proses pengecoran meliputi pembuatan cetakan, proses peleburan logam, penuangan logam cair kedalam cetakan, dan pembersihan coran serta daur ulang pasir cetak.
Produk dari pengecoran biasa disebut dengan coran atau benda cor. Pengecoran juga dapat diistilahkan denagan foundry, namun kata foundry mempunyai artian yang lebih luas, yaitu segala macam yang berhubungan dengan pengecoran. Menurut definisinya pengecoran adalah menuangkan cairan logam kedalam suatu cetakan yang berongga kemudian dibiarkan dingin dan membeku mengikuti bentuk cetakan.
2.3 Membuat Coran
Pada saat membuat coran harus dilakukan proses-proses seperti : pencairan logam, membuat cetakan, menuang, membongkar dan membersihkan coran.Untuk mencairkan logam bermacam-macam tanur dipakai, umumnya kupola atau tanur induksi frekuensi rendah dipergunakan untuk besi cor, tanur busur listrik atau tanur induksi frekuensi tinggi dipergunakan untuk baja cor dan tanur krus untuk paduan tembaga atau coran paduan ringan, karena tanur-tanur ini dapat memberikan logam cair yang baik dan sangat ekonomis untuk logam-logam tersebut.
Bahan baku Tungku Ladel
Sistem pengolahan Mesin Pembuat Penuangan
pasir cetakan
Pasir Rangka cetak
Pembongkaran
Pembersihan
Pemeriksaan
Gambar 1. Aliran Proses Pembuatan Coran.
Di bawah ini akan dijelaskan macam-macam dari pengecoran, yaitu sebagai berikut :
1. Pengecoran cetak adalah satu cara pengecoran dimana logam cair ditekan ke dalam cetakan logam dengan tekanan tinggi, coran tipis dapat dibuat dengan cara ini.
2. Pengecoran tekanan rendah adalah satu cara pengecoran dimana diberikan tekanan yang sedikit lebih tinggi dari tekanan atmosfir pada permukaan logam dalam tanur, tekanan ini mengakibatkan mengalirnya logam cair ke atas melalui pipa ke dalam cetakan.
3. Pengecoran sentrifugal adalah suatu cara pengecoran dimana cetakan diputar dan logam cair dituangkan ke dalamnya, sehingga logam cair tertekan oleh gaya sentrifugal dan kemudian membeku. Coran berbentuk pipa dapat dibuat dengan jalan tersebut.
Pada saat setelah penuangan, coran dikeluarkan dari cetakan dan dibersihkan, bagian-bagian yang tidak perlu dibuang dari coran. Kemudian coran diselesaikan dan dibersihkan dengan disemprot mimis atau semacamnya agar memberikan rupa dan kerusakan, dan akhirnya dilakukan pemeriksaan dimensi.
Oleh karena itu untuk membuat coran yang baik, perencana dan pembuat coran perlu mengerti mengenai pengecoran. Bahan-bahan untuk pengecoran yang biasa digunakan yaitu coran besi cor, coran baja, coran paduan tembaga, coran logam ringan, dan coran paduan lain.
2.4 Pola
Hal pertama yang harus dilakukan pada pembuatan pola adalah mendeskripsikan gambar perencanaan produk menjadi gambar untuk pengecoran, sehingga pola dapat memenuhi beberapa ketentuan-ketentuan, antara lain:
1. Pola harus mudah dikeluarkan
2. Penempatan Inti harus mudah
3. Sistim saluran harus dibuat sempurna untuk mendapatkan aliran logam
cair yang optimum
4. Kemiringan Pola
Setiap pola yang akan dibuat harus memiliki kemiringan tertentu yang bertujuan untuk memudahkan pencabutan pola dari cetakannya sehingga tidak mengalami kerusakan. Kemiringan setiap pola tergantung pada tinggi rendahnya ukuran pola tersebut, yaitu:
a) Apabila ukuran dari suatu pola tinggi maka kemiringannya kecil.
b) Apabila ukuran dari suatu pola rendah maka kemiringannya besar.
5. Permesinan
Setelah dilakukan proses pengecoran, maka suatu produk coran akan dilanjutkan dengan proses permesinan. Oleh karena itu dalam hal pembuatan pola harus memperhatikan tambahan ukuran untuk perlakuan permesinan. Biasanya penambahan ukuran ini hanya diberikan pada bagian-bagian tetentu yang akan dilakukan proses permesinan. Penentuan ketebalan ini berbeda-beda, tergantung pada bahan, ukuran, serta keadaan pekerjaan mekanik.
6. Penyusutan Pola
Pada pembuatan setiap pola harus diketahui dahulu material apa yang akan digunakan untuk pembuatan produk corannya contohnya: Alumunium, besi, baja, kuningan, tembaga dan lain-lain, karena hal ini akan mempengaruhi faktor penyusutan ketika proses pembekuan dan pendinginan logam. Besarnya penyusutan sering tidak homogen, hal ini tergantung pada bahan coran, bentuk, tempat, tebal coran ataupun ukuran dan kekuatan inti.
2.4.1 Jenis Pola
Pola mempunyai berbagai macam bentuk antara lain adalah :
1. Pola pejal
Pola pejal adalah pola yang biasa dipakai yang bentuknya hampir
serupa dengan bentuk coran.
2. Pola Pelat Pasangan
Pola ini merupakan pelat dimana pada kedua belahnya ditempelkan pola demikian juga saluran turun, saluran masuk, dan penambah. Pla ini cocok sekali untuk masa produksi dari coran kecil. Pola biasanya dibuat dari logam atau plastik.
3. Pola Pelat Kup dan Drag
Dalam hal ini pola kayu, logam atau plastik dilekatkan pada dua pelat demikian juga saluran turun pengalir, saluran masuk, dan penambah. Pelat tersebut adalah pelat kup dan pelat drag. Kedua pelat dijamin oleh pena-pena agar bagian atas dan bawah dari coran menjadi cocok. Pola semacam ini dipakai untuk meningkatkan produksi.
4. Pola Cetakan Sapuan
Dalam hal ini bentuk dari coran silinder atau bentuk benda putar. Alat ini dibuat dari pelat dengan sebuah penggeret dan pemutar pada tengahnya. Pembuatan cetakan dilakukan dengan memutar penggeret disekeliling pemutar.
5. Pola Penggeret dan Penuntun
Ini dipergunakan untuk pipa lurus atau pipa lengkung yang penampangnya tidak berubah. Penuntun dibuat dari kayu, dan pembuatan cetakan dilakukan dengan menggerakkan penggeret sepanjang penuntun. Harga pola ini tidak mahal, tetapi pembuatan cetakannya membutuhkan waktu dua atau tiga kali waktu yang diperlukanuntuk pembuatan cetakan biasa dengan pola tunggal.
6. Pola Penggeret Berputar dengan Rangka Cetak
Ini suatu kasus dimana bagian pola dapat diputar secara konsentris. Kedua ujung dari penggeret mempunyai poros. Pembuatan cetakan dilakukan dengan mengayunkan penggeret sekeliling porosnya.
2.4.2 Bahan Pola
Adapun syarat-syarat kayu yang dapat digunakan dalam pembentukan pola
antara lain:
1. Kayu dalam kondisi kering (agar tidak terjadi pelentingan).
2. Mempunyai serat-serat yang halus.
3. Tidak nudah retak atau pecah akibat pengerjaan.
4. Mudah dikerjakan tangan ataupun mesin.
2.5 Pembuatan Cetakan Pasir
Pasir cetak merupakan suatu bahan yang memiliki sifat-sifat tertentu yang dapat digunakan sebagai cetakan, sehingga tidak semua pasir dapat dijadikan pasir cetak. Dapat dikatakan bahwa coran yang baik dihasilkan dari logam yang sesuai dan dituang ke dalam cetakan yang baik, yang terbuat dari pasir cetak yang baik pula. Sifat-sifat pasir cetak yang baik adalah:
1. Permeabilitas yang cukup baik untuk melewatkan dengan cepat gas yang terjadi pada saat logam cair dituang ke dalam cetakan.
2. Kekuatan yang cukup baik untuk menahan tekanan pada saat logam cair dituang ke dalam cetakan.
3. Mampu cetaknya baik.
4. Mampu padatnya baik.
5. Dapat digunakan ulang untuk cetakan.
6. Mampu ambruk setelah penuangannya baik.
7. Tidak menimbulkan polusi.
8. Harganya murah.
Ada beberapa jenis cetakan yaitu antara lain :
1. Cetakan pasir basah (green sand moulds)
2. Cetakan pasir muka kering (skin dried moulds).
3. Cetakan pasir kering (dry sand moulds).
4. Cetakan semen (cemen process moulds).
5. Cetakan pasir proses CO2 (CO2 process moulds).
6. Cetakan pasir kulit kerang (croning/shell process moulds)
2.6 Peleburan
Secara konstruksi, tanur ini lebih sederhana dari tanur induksi frekuensi menengah, karena tidak diperlukan peralatan perubah frekuensi. Frekuensi yang digunakan adalah 50 Hz (frekuensi jaringan listrik). Frekuensi yang rendah mengakibatkan gejolak pada cairan di dalam tanur, tetapi tidak mampu melebur bahan baku yang berukuran kecil. Oleh karena itu pada tanur ini harus selalu ditinggalkan cairan paling sediit ¼ dari isi tanur saat penuangan bila tanur akan dioperasikan kembali.
Gambar 2. Tanur Induksi (kiri) dan Tanur Induksi Saluran (kanan).
2.7 Penuangan
Proses penuangan ini merupakan proses penting dalam pengecoran walaupun berlangsung dalam waktu yang pendek saja. Kecerobohan yang dilakukan dapat membahayakan keselamatan pekerja dan selalu berakibat rusaknya benda tuangan. Untuk menjamin hasil yang baik pada pekerjaan ini, maka digunakan ladel penuangan yang memenuhi syarat-syarat teknis maupun keselamatan kerja. Ladel ini harus digunakan untuk membawa logam cair dari tanur ke cetakan dan menuangkannya dengan aman.
Ladel penuang terbuat dari pelat baja yang bagian dalamnya dilapisi dengan tanah liat, pasir cetak ataupun bahan tahan api lain dan dikeringkan dengan baik. Ladel yang lembab sama sekali tidak berguna, karena pada saat diisi akan menimbulkan uap air yang bercampur dengan cairan. Hal ini akan menyebabkan timbulnya gas pada tuangan. Disamping itu bahaya yang lebih besar timbul karena pecahnya lapisan pelindung menyebabkan cairan tumpah.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat penuangan :
1. Menahan terak
Terak akan mengambang dipermukaan cairan dan diusahakan tidak turut tertuang pada cetakan, oleh karena itu terak ini sesaat sebelum penuangan disingkirkan dengan bantuan batang penyingkir. Batang penyingkir harus kering dan dipanaskan terlebih dahulu, jika tidak maka akan terjadi uap air atau bahkan ledakan yang cukup berbahaya. Cara lain yang dilakukan pada ladel kecil yaitu dengan menaburkan pengikat terak pada permukaan cairan sampai terak menjadi suatu lapisan pada permukaan cairan dan tertinggal di dalam ladel pada saat penuangan. Pengikat terak tersebut adalah sekam maupun bahan industri (slag remover).
2. Posisi Ladel
Posisi ladel harus serendah dan sedekat mungkin dengan cawan tuang, hal ini bertujuan untuk mengurangi oksidasi, menghindari pusaran, dan erosi.
3. Penuangan
Cara penuangan terdiri dari 3 macam, yaitu : penuangan radial, tangensial, dan sentral. Dari ketiganya hanya cara penuangan radial yang dibenarkan, karena dengan cara ini pusaran maupun aliran yang kacau dapat dikurangi. Dalam hal ini bentuk cawan tuang sangat mempengaruhi penuangan.
4. Waktu penuangan
Waktu penuangan ini dapat dihitung dengan tepat. Faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungan ini adalah tinggi penuangan, luas penampang saluran masuk, dan volume tuangan. Maka tugas penuang cetakan di sini hanyalah menuangkan cairan ke dalam cetakan pada ketinggian yang sesuai dengan yang dianjurkan.
2.8 Proses Pembersihan
Pekerjaan pembersihan adalah pekerjaan lanjut dari pengecoran untuk membebaskan hasil tuangan (coran) dari pasir cetakan, sistem penuangan, dan penambah, sirip tuangan dan bagian lain yang tidak dikehendaki. Proses ini meliputi pembongkaran, penyemprotan, dan penyelesaian.
1. Pembongkaran
Pembongkaran adalah pekerjaan pembebasan tuangan dari cetakannya terutama pasir cetak.
a) Penggetar tempel
Penggetar tempel menggantikan cara lama di mana dalam membebaskan tuangan dari pasir cetak dilakukan dengan pemukulan pada rangka cetaknya. Penggetar hanya sekedar ditempelkan pada rangka cetak kemudian bergetar secara elektris, maupun secara hidrolis. Karena getaran ini, pasir akan rontok. Penggetar ini hanya digunakan untuk pasir dengan pengikat bentonit.
Gambar 3. Penggetar Tempel.
b) Meja penggetar
Meja penggetar bekerja lebih praktis dari pada penggetar tempel, dimana cetakan hanya diatasnya dan digetarkan. Pasir akan rontok, menembus lubang pada lantai penggetar dan dengan ban berjalan dikirim kembali ke mesin pendaur ulang
Gambar 4. Meja Penggetar.
Langganan:
Postingan (Atom)