Kamis, 03 Maret 2011

Pengetahuan Lingkungan

Global Warning

Pernyataan di bawah berikut ini mungkin akan membuat kita tersentak sekaligus terbelalak. Ia berbunyi: “Pernyataan pemanasan global itu sungguh nyata cuma omong kosong. Pernyataan itu diulang-ulang oleh para aktivis guna meyakinkan sekaligus menakut-nakuti publik bahwa iklim akan berubah menjadi malapetaka, dan aktivitas manusialah penyebab utamanya.” Kalimat itu diucapkan senator AS dari Partai Republik, James Inhofe, yang juga merupakan Ketua Environment and Public Works Committee Senat AS, setahun lalu.
Pernyataan itu diperkuat lagi dengan pernyataan Direktur NASA Michael Griffin dalam wawancara dengan sebuah radio lokal di AS belum lama ini, yang menunjukkan keraguan sang direktur bahwa pemanasan global adalah tantangan terbesar yang harus diatasi manusia. Dalam wawancara tersebut, salah satu petikan pernyataan Griffin yang kemudian banyak dikutip adalah, “Iklim bumi saat ini adalah iklim yang terbaik yang pernah kita punyai.”
Benarkah pemanasan global sungguh-sungguh merupakan akibat dari ulah manusia yang terlalu rakus mengeksploitasi bumi dan ceroboh menjaga keseimbangan alam? Apakah pemanasan global dan perubahan iklim adalah hal terpenting yang harus diatasi manusia?
Inhofe memaparkan beragam fakta dan kutipan yang mendukung argumennya. Menurutnya, media memainkan peranan penting dalam menggelorakan isu yang tidak benar ini. Ia pun mengungkapkan penelusurannya terhadap laporan beberapa media terkemuka seperti Newsweek, Majalah Time, Harian New York Times, Chicago Tribune, dan juga Jurnal Science News. Didapatinya, media-media tersebut pada era tahun 1900-an justru melaporkan kekhawatiran akan datangnya abad es, bukan pemanasan atau melelehnya es. Hingga periode 1920-1930-an sampai menjelang akhir tahun 1970-an, media-media terkemuka di AS itu masih sangat gencar memberitakan dan melaporkan bahaya perubahan bumi menjadi bola es.
Ia pun melecehkan Protokol Kyoto, sebuah protokol yang ditandatangani oleh sebagian besar negara di kolong bumi ini guna mengurangi emisi gas-gas pembentuk rumah kaca di mana AS menolak menandatanganinya, sebagai kesepakatan dan solusi yang tidak ada artinya dalam rangka mengurangi emisi gas-gas berbahaya ke atmosfir bumi. Menurutnya, cara paling efektif untuk mengurangi gas-gas tersebut adalah penggunaan alat pembersih gas dan teknologi yang lebih efisien untuk menekan gas tersebut bertebaran ke angkasa.
Namun pernyataan Inhofe berbau politis itu tak menyurutkan gerakan global di seluruh dunia bahwa ancaman pemanasan bumi sungguh-sungguh nyata dan harus diperangi dari sekarang oleh semua pihak. Inhofe, politisi dari Partai Republik, sebagaimana halnya Presiden AS George W. Bush yang juga dari Partai Republik, jelas tidak mau kepentingan mereka terusik terusik gara-gara harus menekan emisi gas rumah kaca yang di AS sebagian besar dihasilkan dari pembangkit listrik berenergi fosil (BBM, batubara).
Tak hanya Inhofe dan Bush yang bersikap “bebal” terhadap perubahan iklim. Lebih dari 17 ribu ilmuwan -- dua ribu lebih di antaranya adalah fisikawan, geofisikawan, ahli iklim, ahli meteorologi, dan pakar lingkungan- menandatangani petisi yang diedarkan oleh Oregon Institut of Science and Medicine di AS. Salah satu kalimat dalam petisi itu menyatakan, “Tidak ada bukti-bukti ilmiah bahwa pelepasan gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan gas-gas rumah kaca lainnya yang mengakibatkan pemanasan akut terhadap temperatur bumi dan kerusakan pada iklim bumi.”
Terlepas dari kenyataan dan pernyataan politik yang diungkapkan di atas, fakta-fakta berikut ini berbicara jauh lebih kuat dan nyata, memperlihatkan ke mana arah perubahan iklim di bumi ini akan menuju dan bermuara.
Fakta-fakta
Kita mulai dari yang jauh dengan kita, Laut Arktik. Lautan ini sebagian besar dikenali sebagai samudera es. Ilmuwan yang mengamati perubahan pada lautan es ini mencatat terjadinya peningkatan panas dua kali lebih cepat dibandingkan pemanasan di tingkat global. Sejak tahun 1980, samudera es yang terletak Arktik yang berada di wilayah Eropa telah mencair antara 20-30 persen.
Masih di Eropa, pegunungan Alpens yang tadinya sebagian besar diselubungi salju mengalami kemerosotan deposit salju yang parah. Delapan dari sembilan area gletser/glacier menunjukkan derajat kerusakan yang signifikan dan dalam kurun waktu satu abad sudah kehilangan sepertiga dari wilayah es.
Tidak hanya di Eropa, seluruh dataran tinggi di dunia yang selama ini dikenal memiliki puncak gunung es juga lumer. Salju di puncak gunung tertinggi di Afrika, Kilimanjaro, setiap bulannya meleleh tak kurang dari 300 meter kubik. Gunung yang terletak di Tanzania ini menderita kebotakan salju parah bilamana membandingkan foto udara yang diambil pada tahun 1974, 1990, dan 2001. Dalam periode satu abad pengamatan, salju di puncak gunung itu meleleh hingga mencapai 82%. Bila salju tak lagi betah hinggap di puncak gunung itu, nama gunung itu boleh jadi harus diubah, karena Kilimanjaro dalam bahasa setempat berarti gunung yang putih atau gunung yang bercahaya.
Mari beralih ke kawasan yang melahirkan banyak seniman bola, Amerika Selatan. Salju di negeri-negeri seperti berdataran tinggi seperti Argentina, Peru, Chili juga menurun drastis. Pegunungan Andes, salah satu surga salju di dunia, mengalami pelelehan salju ke arah puncak gunung yang sangat signifikan. Antara tahun 1963 hingga 1978, salju mencair rata-rata 4 meter per tahun, dan sejak tahun 1995 hingga sekarang, pelelehan salju mencapai kecepatan 30,1 meter per tahun di seluruh kawasan yang mengandung glacier. Sementara di Venezuela, negeri penghasil Miss World terbanyak, dari 6 glacier yang dimiliki negeri tersebut pada tahun 1972, kini hanya tersisa dua lagi, dan akan hilang paling lambat 10 tahun sejak sekarang.
Konsekuensi dari melelehnya salju adalah meningkatnya permukaan air laut, pertama-tama di kawasan tersebut. Di negeri bola Brasil, garis pantai yang hilang menjadi lautan rata-rata berkisar 1,8 meter per tahun pada kurun waktu antara 1915 hingga 1950 dan meningkat menjadi 2,4 meter per tahun pada kurun waktu sepuluh tahun antara 1985-1995.
Apa yang terjadi di Asia, juga di Indonesia, akibat pemanasan global? Sama dengan yang terjadi di benua lain, salju-salju di dataran tinggi Asia mengalami pelelehan yang drastis sekaligus dramatis. Himalaya, gunung tertinggi di dunia yang menjadi kantong air beku di “atap langit” terus kehilangan saljunya secara konsisten. Glacier-glacier di Pegunungan Himalaya yang tersebar di negara-negara seperti India, Tibet, Bhutan, China, terdegradasi dengan amat cepat. Tujuh sungai besar di Asia yang bermata air dari Himalaya yakni Gangga, Indus, Brahmaputra, Mekong, Thanlwin, Yangtze, dan Sungai Kuning terancam eksistensinya yang berakibat pada ratusan juta umat manusia di kawasan sepanjang aliran sungai-sungai itu.
Tak hanya di kawasan Asia Selatan, salju di Asia Tengah yang juga terus lenyap satu per satu. Itu terjadi pula di Puncak Jaya, Papua, satu-satunya daerah pegunungan tinggi di Indonesia yang memiliki salju. Bila foto udara pada tahun 1972 memperlihatkan puncak gunung yang hampir seluruhnya diselimuti salju, sekarang puncak gunung itu hanyalah berisi bebatuan dan pepohonan belaka. Artinya, tidak ada lagi salju di sana.
Pelelehan es yang diungkap di atas baru merupakan sebagian dari yang sebenarnya terjadi. Berdasarkan laporan terakhir Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terakhir yang dirilis tahun 2007 ini, 30 salju di pegunungan di seluruh dunia kehilangan ketebalan hingga lebih dari setengah meter hingga tahun 2005 saja. Dua tahun yang terakhir belum masuk dalam laporan tersebut.
Konsekuensi dan Risiko
Karena energi bersifat kekal, salju-salju tadi dengan sendirinya tidak hilang dan hanya berubah bentuk. Ibarat es yang ada dalam sebuah gelas, ketika ia terkena panas dan mencair, volume air itu tidak berkurang atau bertambah, melainkan hanya berubah. Maka, konsekuensi pertama dari meningkatnya suhu bumi yang melelehkan salju dan deposit-deposit air tadi adalah kian bertambahnya air di permukaan bumi. Peningkatan tersebut dapat dideteksi di seluruh penjuru bumi dan dibuktikan melalui sejumlah foto udara yang membandingkan suatu kawasan pada puluhan tahun silam dengan kondisi kontemporer.
Namun, konsekuensi meningkatnya suhu bumi tidaklah sesederhana itu. Perubahan-perubahan ekologis yang terjadi pada lingkungan di mana manusia dan makhluk hidup lainnya hidup membawa dampak yang mengerikan bagi umat manusia. Hukum fisika menyatakan, angin bergerak dari tempat yang dingin ke tempat yang lebih panas. Nah, perbedaan temperatur suatu kawasan dengan kawasan lain yang sangat ekstrem pada waktu bersamaan telah memicu munculnya angin topan, badai, dan tornado menjadi lebih sering dibandingkan beberapa tahun silam. Negara-negara di kawasan Amerika Utara, Tengah, Selatan dan Karibia, Eropa, juga Asia Selatan dan Timur sudah merasakan dampak yang ditimbulkan dari topan badai ini. Topan yang memiliki nama-nama nan indah menerpa warga di seluruh bumi secara memilukan dan sekaligus mematikan.
Arus pergerakan air tidak hanya membawa musibah banjir bandang, tetapi juga disertai tanah longsor akibat penggundulan hutan yang berlangsung setiap menit. Dalam waktu bersamaan, belahan dunia yang satu terancam kekeringan dan kebakaran, tempat lainnya dilanda topan badai, banjir dan tanah longsor yang menyengsarakan ratusan juta umat manusia.
Konsekuensi di Tingkat Lokal
Kekeringan di daerah Gunung Kidul misalnya, mungkin saja sudah menjadi fakta jamak yang berlangsung setiap tahun dan sudah sejak puluhan tahun hal itu terjadi. Akan tetapi, kesulitan air yang dialami oleh warga di lereng Gunung Merapi lima tahun terakhir ini misalnya, tentu sebuah fakta baru yang menunjukkan betapa air makin sulit didapat.
Kesulitan para petani sayuran di lereng Gunung Merbabu misalnya, juga sesuatu yang masih terdengar asing. Grojogan Sewu memang masih menumpahkan airnya. Tetapi dibandingkan lima belas tahun silam misalnya, grojogan itu sekarang telah berubah menjadi tak lebih dari pancuran. Beberapa puluh tahun yang akan datang, boleh jadi ia tinggal menjadi tetesan saja.
Itu baru dari sisi kelangkaan air. Dari sisi perubahan iklim, semua kota dan wilayah di Indonesia menjadi korbannya. Di Jawa bagian tengah misalnya, Kaliurang di Jogjakarta, Tawangmangu di Karanganyar, atau Bandungan di Semarang, sekarang bukan lagi didatangi wisatawan karena udaranya yang sejuk dan dingin, tetapi karena kelatahan dan cap yang terlanjut melekat sebagai daerah wisata. Itu saja. Dahulu, di daerah-daerah tersebut kabut dingin senantiasa turun setiap pagi sepanjang tahun. Sekarang, ia hanya bisa dijumpai beberapa kali sepanjang tahun, itupun sangat tergantung dari musim.
Di Puncak Jaya, Papua, salju tidak lagi hinggap di puncaknya sejak beberapa tahun silam. Ini menandai era berakhirnya eksistensi satu-satunya kawasan bersalju di Indonesia. Dan ini sekaligus membuktikan, bahwa bumi yang makin panas bukanlah fakta gombal melainkan kenyataan aktual.
Ironisnya, dalam situasi udara yang makin panas, orang lalu mencari cara untuk mendinginkannya, tetapi hanya untuk diri mereka sendiri. Pendingin udara adalah pilihan pragmatis untuk ini, tetapi alat inipun hanya bisa dijangkau oleh lapisan masyarakat golongan menengah ke atas. Masyarakat miskin jelas tak bisa mengelak dari kegerahan.
Ironisnya, penggunaan pendingin udara yang makin masif dan intensif pada sebagian besar rumah tangga di perkotaan secara akumulatif justru mendorong terciptanya bumi yang makin panas akibat gas-gas yang dihasilkan oleh pendingin udara tersebut tidak ramah lingkungan. Sudah begitu, penggunaan pendingin udara yang intensif itu juga memicu meningkatnya kebutuhan listrik yang terus membesar –yang lagi-lagi ironisnya— sementara listrik tersebut diproduksi dengan menggunakan bahan bakar fosil yang tak ramah terhadap lingkungan dan memberi kontribusi terbesar pada pemanasan secara global.
Lingkaran setan ini jelas menggiring masyarakat yang paling miskin dan tak memiliki akses terhadap sumber daya ekonomi yang memadai menjadi korban. Jumlah masyarakat yang kian tersisih dari lingkaran ini niscaya akan terus membesar karena perseteruan dan kata sepakat tentang upaya kongkret memerangi perubahan iklim ini mengalami kebuntuan yang akut.
http://rovicky.wordpress.com/2007/12/15/global-warming-ngga-bisa-dicegah/
Not fight to it, but how we adapt to it“
Sebagai seorang geologist, aku ini masih sulit menerima bahwa fenomena global warming ini dapat “dicegah“. Saya kok yakin bahwa global warming ini lebih bersifat natural ketimbang “man made“. Walaupun begitu bukan berarti bahwa emisi karbon itu tidak berbahaya loo. Emisi karbon hanyalah bersifat polutan, artinya emisi karbon dari cerobong, maupun dari knalpot dan sebagainya, itu jelas “menganggu” dan mempengaruhi kenyamanan. Dalam skala kecil misalnya kalau kita berada pada satu kota yang pengap dengan asap kenalpot, maka kita akan merasakan udara semakin terasa panas. Tetapi panas ini disebabkan oleh sifat-sifat asap yang menghambat penghantaran panas.

Prose pemanasan dan pendinginan global terjadi sejak dulu.

Suhu bumi rata-rata sejak jutaan tahun lalu
Yang saya takutkan adalah kalau kita menganggap bahwa kalau manusia berhasil mengurangi emisi sampai nol maka diharapkan pasti pemanasan global dapat distop. Ini yang aku khawatirkan.
Karena kalau ini yang ada didalam benak manusia, maka secara naluriah manusia akan mati-matian memerangi pengurangan emsisi gas buang karena dianggap sebagai “musuh utama” atau “penyebab utama” dari fenomena global warming. Sehingga setiap usaha riil (fisik) serta olah otak (berdikusi, konperensi, seminar dll), akan ditargetkan dalam menghadapi global warming hanyalah ke arah pengurangan emisi ini saja.
Lah seandainya global warming itu merupakan kejadian alam biasa (hanya sebuah siklus panjang), seperti yang terlihat disebelah kiri ini. Maka kita (manusia) harus mempersiapkan segala sesuatu demi menghadapi pemanasan global ini. Persiapan menghadapi pemanasan global ini mirip kalau akan menghadapi musim tahunan saja.
Tetapi kali ini kita akan menghadapi perubahan iklim yang siklusnya mungkin ribuan tahun, jutaan tahun. Global warming-cooling bukanlah siklus satu tahunan saja. Gambar fluktuasi muka air laut disebelah ini, merupakan salah satu manifestasi dari global warming-cooling yang terekspressi pada naik-turunnya muka air laut. Perhatikan bahwa sepanjang hidupnya tinggi muka air laut lebihsering lebih tinggi dari ketinggiannya saat ini.
Bisnis Global Warning
Yang lebih parah lagi kalau global warming-cooling yang menurutku belum pasti akibat manusia ini dibisniskan.
Misalnya dengan salah satunya jual beli carbon emisi, seolah jual beli sesuatu yang tidak ada gunanya. Juga adanya pinjaman utang Bank Dunia atau IMF utk mengatasi penggundulan hutan dll, yang seharusnya tidak diperlukan. Semua ini bisa saja nantinya dianggap sebagai jebakan dari negara adidaya dan super power, serta negara maju yang selama ini memakai carbon seenaknya. Dan menjerat hutang ke negara miskin.
So … kalau ada pemikiran STOP GLOBAL WARMING … aku kok malah gedeg-gedeg sendiri. Jangan-jangan kita ini masuk ke Problema Columbus, dimana ada yang takut kecemplung pinggiran laut karena dikira laut itu seperti meja ! Ketakutan kita pada global warming semestinya bukanlah diantisipasi dengan mengutamakan pencegahan pemanfaatan sumberdaya (energi).
Polusi dan eksploitasi sumberdaya alam
Polusi memang sangat menganggu, tetapi polusi ini menganggukenyamanan lokal. Polusi tidak hanya asap, polusi dapat juga polusi bahan-bahan radioaktif. Juga polusi bahan beracun akibat aktifitas manusia. Ini tentusaja tetap harus diperangi, namun bukan dalam semangat mengantisipasi global warming.
Demikian juga eksploitasi sumberdaya alam. Pemanfaatan hutan, pemanfaatan air, pemanfaatan minyak bumi, pemanfaatan gas, tambang emas, batubara dan lain-lain memang harus dikelola dengan benar. Tetapi sekali lagi bukan dengan semangat untuk mencegah atau menyetop global warming. Pemanfaatan ini dapat saja dikaitkan dengan global warming dalam artian, bagaimana kita mengantisipasi kedatangannya. Bagaimana kita mengelola air dimasa bumi semakin panas, bagaimana memanfaatkan listrik dengan baik untuk mengatisipasi suhu yang tinggi. Juga seperti apa seharusnya memanfaatkan hutan supaya tidak menganggu ketika terjadi kebakaran dsb.
“Not fight to it, but how we adapt to it“
Mitigasi Global Warming
Global warming bukan untuk dikurangi, dicegah, atau bahkan distop. Tetapi global warning ini harus diantisipasi bagaimana menghadapinya. Lebih tepatnya kita harus me-mitigasi global warning ini, mirip seperti melakukan mitigasi untuk sebuah gempa. Kita tidak mungkin mencegahnya walaupun kita meneliti dan menganalisanya, bahkan mencoba meramalkannya.

http://www.e-dukasi.net/artikel/index.php?id=67
• 10/04/2008
Mengenal Lebih Jauh Tentang Pemanasan Global



Pendahuluan

Tulisan halaman ini dibuat berdasarkan ikhtisar pendek dari laporan tahun 2001
yang dibuat oleh Kelompok Diskusi Antar-negara Mengenai Perubahan Iklim dan
laporan tahun 2001 dari Badan Riset Nasional mengenai Pengetahuan mengenai
Perubahan Iklim: Sebuah Analisis tentang Beberapa Pertanyaan Kunci, juga
sumber-sumber data dari NCDC sendiri. Tulisan ini dibuat oleh David Easterling
dan Tom Karl, dari Pusat Data Iklim Nasional, Asheville, N.C. 28801.

Salah satu topik yang paling hangat diperdebatkan di dunia adalah masalah
perubahan iklim, dan pusat-pusat data dari Layanan Satelit, Data dan Informasi
Lingkungan Nasional (National Environmental Satellite, Data, and Information
Service – NESDIS) merupakan pusat untuk menjawab beberapa pertanyaan yang paling
mendesak yang masih saja belum bisa dijelaskan mengenai perubahan cuaca. Pusat
Data Iklim Nasional memiliki catatan-catatan pendukung yang dapat secara tepat
menjabarkan sifat-sifat alami fluktuasi iklim dalam jangka waktu hingga satu
abad lamanya. Berbagai jenis variasi data yang disumbangkan pada NCDC berasal
dari: Kapal-kapal, pelampung, stasiun cuaca, balon cuaca, satelit, dan pesawat
udara. Pusat Data Oseanografis Nasional (National Oceanographic Data Center)
memiliki data bawah laut yang dapat mengungkapkan bagaimana cara panas
didistribusikan dan diredistribusikan kembali di sekeliling planet ini.

Dengan mengetahui bagaimana perubahan yang tengah dialami dan telah dialami oleh
sistem ini di masa lalu, sangat penting untuk dapat memahami bagaimana perubahan
yang akan dialami di masa mendatang. Dan, untuk mendapatkan informasi mengenai
iklim yang berlangsung selama ratusan hingga ribuan tahun, program
paleoklimatologi, yang juga ada di Pusat Data Iklim Nasional, dapat membantu
untuk menghadirkan sudut pandang dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Secara internasional, Kelompok Diskusi Antar-negara Mengenai Perubahan Iklim
(Intergovernmental Panel on Climate Change – IPCC), yang berada di bawah naungan
PBB, Organisasi Meterologi Dunia (World Meteorological Organization – WMO), dan
Program Lingkungan PBB (United Nations Environment Program – UNEP), adalah badan
paling tua dan paling memiliki otoritas untuk menyediakan nasihat-nasihat ilmiah
pada para pembuat kebijakan secara global. IPCC mengadakan pertemuan lengkap
pada tahun 1990, 1995, dan 2001. Mereka membahas isu-isu seperti meningkatnya
gas yang dihasilkan oleh efek rumah kaca, bukti-bukti, penyebab, dan prediksi
mengenai perubahan iklim, akibat dari perubahan iklim, dan pilihan-pilihan
kebijakan.

Di bawah ini terdapat sejumlah pertanyaan yang biasa diajukan pada para peneliti
iklim, dan jawaban-jawaban pendek (berdasarkan laporan dari IPCC dan riset yang
lainnya) dalam bahasa awam yang mudah dipahami. Daftar ini akan diperbarui
secara periodik, bila ada bukti-bukti ilmiah baru yang ditemukan.

Apakah yang dimaksud dengan efek rumah kaca, dan apakah
efek rumah kaca dapat mempengaruhi iklim kita?

Efek rumah kaca adalah suatu hal yang kebenarannya tidak
diragukan lagi dan efek ini membantu mengatur suhu di planet kita. Efek ini
penting bagi kehidupan di Bumi dan merupakan salah satu proses alami yang
terjadi di Bumi. Efek rumah kaca merupakan hasil dari penyerapan energi oleh
gas-gas tertentu yang terdapat di atmosfer (disebut gas rumah kaca karena
gas-gas ini secara efektif ‘menangkap’ panas yang terdapat di atmosfer bagian
bawah) dan meradiasikan kembali sebagian dari panas tersebut ke bawah.

Uap air adalah unsur terbanyak yang terdapat dalam gas rumah kaca, diikuti oleh
karbon dioksida dan gas-gas lainnya. Tanpa adanya efek rumah kaca yang alami,
suhu di permukaan bumi akan berada pada angka no derajat F (-18˚C) bukan seperti
suhu saat ini yaitu 57˚F (14˚C). Jadi, kekhawatiran bukan terletak pada fakta
tentang adanya efek rumah kaca, namun apakah aktivitas manusia menyebabkan
terjadinya peningkatan efek rumah kaca ini.

Apakah jumlah gas yang dihasilkan efek rumah kaca terus
meningkat jumlahnya?

Aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi gas rumah
kaca dalam atmosfer (sebagian besar berupa karbon dioksida yang berasal dari
pembakaran batu bara, minyak, dan gas; ditambah gas-gas lainnya). Tidak ada
debat ilmiah mengenai hal ini. Tingkat karbon dioksida sebelum masa industri (sebelum
Revolusi Industri dimulai) adalam sekitar 280 ppmv, dan tingkat karbon dioksida
saat ini adalam sekitar 370 ppmv. Konsentrasi CO2 dalam atmosfer kita saat ini,
belum pernah meningkat selama 420.000 tahun, dan kemungkinan besar tidak akan
berubah dalam 20 juta tahun terakhir. Berdasarkan laporan khusus dari IPCC
mengenai skenario emisi (Special Report on Emission Scenarios –SRES), di akhir
abad ke 21, kita bisa melihat adanya konsentrasi karbon dioksida sebesar 490 –
1260 ppm (75 – 350% di atas angka konsentrasi di masa pra industri.

Apakah Iklim menjadi semakin panas?

Ya. Temperatur permukaan secara global
meningkat sebesar kurang lebih 0.6°C (kurang atau lebih 0.2°C) sejak akhir abad
19, dan sekitar 0.4°F (0.2 hingga 0.3°C) sepanjang 25 tahun terakhir (periode
ini memiliki data yang paling akurat). Pemananasan bukanlah sesuatu yang seragam
secara global. Beberapa wilayah (termasuk sebagian dari Amerika Serikat bagian
tenggara), pada kenyataannya, menjadi semakin dingin sepanjang satu abad
terakhir. Peningkatan panas paling besar dialami oleh
Amerika Utara dan Eurasia di antara 40 dan 70°LU. Pemanasan, yang dibantu dengan
adanya catatan El Niño sepanjang tahun 1997-1998, dan terus meningkat hingga
saat ini, dimana tahun 2001 menjadi tahun terpanas kedua setelah tahun 1998.

Trend secara linear dapat sangat bervariasi tergantung pada periode saat
penghitungan. Trend suhu pada atmosfer bagian bawah (di antara 2.500 dan 26.000
kaki) dari tahun 1979 hingga saat ini, merupakan sebuah periode dimana terdapata
unit data dari Microwave Satellite, sangatlah kecil dan mungkin tidak
representatif untuk mewakili tren dengan masa yang lebih panjang dan trend yang
lebih dekat dengan permukaan. Lebih jauh lagi ada perbedaan kecil yang belum
dapat di diperbaiki du abtara radiosonde dan observasi satelit mengenai
temperatur di troposfer, meskipun kedua sumber data tersebut menunjukkan sedikit
adanya tred pemanasan.

Bila kita melakukan kalkulasi terhadap tren berdasarkan data radiosonde yang
mulai dicatat sejak tahun 1950an, terlihat pemanasan yang sedikit lebih tinggi
dalam catatannya karena adanya peningkatan di tahun 1970an. Ada alasan-alasan
fisik dan statistik (misalnya, masa pencatatan yang terlalu pendek, perbedaan
efek sementara terhadap aktivitas vulkanis dan El Niño, serta efek-efek lapisan
perbatasan) sehingga kita bisa melihat perbedaan di antara tren yang terjadi
baru-baru ini pada suhu di lapisan troposfer bagian permukaan dan di bagian
bawah, namun alasan-alasan pasti tentang terjadinya perbedaan ini masih terus
diselidiki (lihat laporan Badan Riset Nasional “Merekonsiliasi Hasil Observasi
terhadap Perubahan Iklim secara Global”).

Sebuah efek rumah kaca yang diperkuat diperkirakan menyebabkan terjadinya
pendinginan di bagian atmosfer yang lebih tinggi karena adanya peningkatan efek
“selimut” di bagian bawah atmosfer menyimpan panas yang lebih banyak,
menyebabkan lebih sedikit panas yang dapat mencapai atmosfer bagian atas.
Pendinginan di stratosfer bagian bawah (sekitar 49.000 – 79.500 kaki) sejak
tahun 1979 ditunjukkan oleh data dari Unit Microwave Sounding dan data
radiosonde, namun angka lebih besar ditunjukkan oleh data radiosonde.

Suhu permukaan dan troposfer yang relatif lebih dingin, dan suhu stratosfer
bagian bawah yang relatif lebih hangat, diamati pada tahun 1992 dan 1993,
menyusul meletusnya Gunung Pinatubo pada tahun 1991. Pemanasan muncul kembali
pada tahun 1994. Sebuah pemanasan secara global yang dramatis, setidaknya
sebagian dihubungkan dengan adanya catatan El Niño, terjadi pada tahun 1998.
Episode pemanasan ini direfleksikan dari permukaan hingga di bagian atas
troposfer.

Ada kecenderungan secara umum, namun bukan kecenderungan global, terhadap
pengurangan diurnal temperature range (DTR), (perbedaan tinggi rendahnya
temperatur harian) di sekitar 50% dari wilayah daratan secara global sejak
pertengahan abad 20. Liputan awan semakin meningkat di banyak wilayah sementara
DTR semakin berkurang. Tren positif secara keseluruhan untuk suhu harian
maksimum sepanjang masa pengamatan (1950-1993) adalah 0.1°C/dekade, sementara
tren untuk suhu minimum harian adalah 0.2°C/dekade. Hasil ini merupakan gambaran
tren negatif dalam DTR yaitu -0.1°C/dekade.

Indikator tidak langsung atas terjadinya pemanasan seperti temperatur yang
semakin panas, lapisan es, dan data berkurangnya sungai es (glacier), secara
substansial mendukung data lain yang lebih langsung mengenai suhu yang semakin
memanas belakangan ini. Bukti-bukti seperti perubahan panjang sungai es, sangat
berguna karena tidak hanya memberikan dukungan kualitatif terhadap data
meteorologi yang sudah ada, namun sungai es terkadang berada di tempat-tempat
yang terlalu terpencil untuk dapat mendukung stasiun-stasiun meteorologi,
catatan makin bertambah atau berkurangnya sungai es seringkali jauh lebih
panjang daripada apa yang tercatat di stasiun cuaca, dan sungai es biasanya
berada pada ketinggian yang lebih jauh lebih tinggi sehingga stasiun cuaca dapat
memberikan kita lebih banyak data mengenai perubahan di tempat-tempat yang lebih
tinggi di atmosfer.

Pengukuran dalam skala besar terhadap lautan es hanya dapat dilakukan pada era
satelit, namun dengan melihat pada angka-angka yang terdapat pada perkiraan
berbagai satelit yang berbeda, kita dapat melihat bahwa wilayah Samudera Arktik
mengalami pengurangan antara tahun 1973 dan 1996 dengan kecepatan -2.8 +/-
0.3%/dekade. Meskipun hal ini kelihatannya berhubungan dengan peningkatan suhu
secara umum pada periode yang sama, ada banyak siklus-kuasi dinamika atmosfer
(misalnya Arctic Oscillation) yang juga dapat mempengaruhi ketebalan lautan es
di Arktik. Lautan es di Antartika menunjukkan sedikit sekali tren pada periode
yang sama, atau bahkan mengalami sedikit peningkatan sejak tahun 1979. Meskipun
catatan mengenai lautan es di Antartika di tahun-tahun yang lampau sangat sulit
untuk didapatkan karena tidak adanya pengamatan secara langsung di belahan bumi
ini.

Apakah El Niño berhubungan dengan
pemanasan global?

El Niño bukan disebabkan oleh pemanasan
global. Bukti-bukti yang didapatkan dari berbagai sumber (termasuk penelitian
arkeologi) memperlihatkan bahwa El Niño sudah ada selama beratus-ratus tahun,
bahkan ada indikator yang menyebutkan kemungkinan keberadaannya selama jutaan
tahun.

Namun diperkirakan bahwa suhu permukaan laut yang semakin hangat dapat
memperkuat fenomena El Niño, dan benar juga bahwa El Niño terjadi lebih sering
dan lebih dasyat dalam beberapa dekade belakangan ini. Hasil percobaan model
iklim yang merupakan simulasi dari abad 21 dengan peningkatan gas-gas rumah kaca
menunjukkan bahwa pola suhu permukaan laut yang mirip seperti El Niño di
Samudera Pasifik bagian tropis kemungkinan akan lebih kuat.

Apakah terjadi perubahan pada siklus hidrologis (penguapan
dan curah hujan)?

Secara umum, curah di daratan di seluruh dunia meningkat
sekitar ~2% sejak tahun 1900, namun demikian, perubahan curah hujan terjadi
secara bervariasi selama seabad belakangan ini. Catatan instrumental menunjukkan
bahwa ada peningkatan secara umum pada curah hujan sebesar sekitar 0.5-1.0%/dekade
pada daratan di wilayah utara dengan ketinggian menengah ke atas, kecuali
sebagian Rusia bagian timur. Namun demikian, ada penurunan sekitar -0.3%/dekade
pada curah hujan yang terjadi sepanjang abad 20 di wilayah daratan yang berada
pada ketinggian sub-tropis, meskipun tren ini semakin melemah pada dekade-dekade
belakangan ini.

Karena adanya kesulitan dalam mengukur curah hujan, penting sekali untuk
memberikan dukungan data terhadap pengamatan ini dengan menganalisis variabel
lain yang berhubungan. Perubahan yang dapat diukur pada curah hujan akan secara
konsisten sama dengan perubahan pada aliran arus, tinggi danau, dan kelembaban
tanah (dimana data bisa dilihat dan telah dianalisis).

Luas lapisan es di Wilayah Kutub Utara yang diukur setiap tahunnya secara
konsisten berada di bawah rata-rata sejak tahun 1987, dan mengalami penurunan
sekitar 10% sejak tahun 1966. Hal ini sebagian besar terjadi karena berkurangnya
hujan salju pada musim semi dan musim panas di wilayah Eurasia dan Amerika Utara
sejak pertengahan 1980an. Namun demikian, lapisan salju di musim hujan dan musim
gugur menunjukkan tidak adanya tren yang signifikan di wilayah kutub utara pada
periode yang sama.

Data satelit yang semakin bagus menunjukkan bahwa tren umum peningkatan jumlah
liputan awan bak di daratan maupun lautan sejak awal 1980an, mengalami penurunan
pada awal 1990an, dan jumlah total liputan awan di daratan dan lautan saat ini
kelihatannya semakin berkurang. Namun demikian, ada beberapa penelitian yang
menunjukkan ketebalan awan secara regional, mungkin terutama pada awan-awan
hujan yang tebal, mengalami peningkatan pada abad 20.

Apakah terjadi perubahan pada sirkulasi
atmosfer/lautan?

Sebuah perubahan yang agak tiba-tiba pada
perilaku El Niño – South Oscillation terjadi pada sekitar tahun 1976/77 dan
perilaku ini terus berlangsung hingga sekarang. El Niño lebih sering terjadi dan
lebih dasyat daripada La Niña yang lebih dingin. Perilaku yang sangat di luar
kebiasaan terjadi dalam 120 tahun terakhir (periode dimana terdapat catatan
instrumental). Perubahan pada curah hujan di wilayah Pasifik tropis berhubungan
dengan perubahan pada El Niño – South Oscillation, yang juga mempengaruhi pola
dan kekuatan temperatur di permukaan. Namun demikian, tidak jelas apakan
perubahan yang jelas sekali terlihat pada siklus ENSO ini disebabkan oleh
pemanasan secara global.

Apakah terjadi perubahan iklim yang lebih ekstrem dan
lebih bervariasi?

Dalam skala global hanya ada sedikit bukti adanya tren
panjang dalam ekstrimitas dan variabilitas iklim. Ini mungkin menunjukkan adanya
ketidak cukupan data dan analisis. Namun demikian dalam skala regional, ada
bukti yang jelas adanya perubahan pada variabilitas dan ekstrimitas. Di
wilayah-wilayah dimana terjadi kekeringan atau musim penghujan yang
berkepanjangan biasanya diikuti adanya El Niño, kekeringan atau kebasahan ini
biasanya terasa lebih intense pada tahun-tahun belakangan. Di luar wilayah ini,
hanya sedikit bukti yang tersedia mengenai perubahan pada frekuensi atau
intensitas kekeringan.

Di beberapa wilayah dimana secara keseluruhan curah hujan mengalami peningkatan
(misalnya, di wilayah utara dengan ketinggian menengah hingga tinggi), ada bukti
mengenai peningkatan terjadinya curah hujan yang lebih lebat dan lebih ekstrim.
Bahwa di wilayah-wilayah seperti Asia selatan, ditemukan peningkatan jumlah
curah hujan yang ekstrim meskipun secara total curah hujan tetap konstan atau
bahkan terjadi penurunan. Hal ini berhubungan dengan penurunan pada frekuensi
curah hujan di wilayah ini.

Banyak penelitian individual di berbagai wilayah yang menunjukkan bahwa
aktivitas siklon ekstra tropis kelihatannya mengalami peningkatan sepangjang
pertengahan abad 20 di kutub utara, namun mengalami penurunan di wilayah kutub
selatan. Tidak jelas apakah tren ini merupakan fluktuasi multi-dekade atau
bagian dari tren yang lebih panjang lagi.

Menurut data yang terpercaya, frekuensi dan intensitas badai tropis tidak
menunjukkan adanya tren jangka panjang yang signifikan di basin manapun.
Kelihatannya sedang terjadi fluktuasi dekade-interdekade, namun tidak ada data
yang secara konsklusif menunjukkan adanya komponen termin yang lebih panjang.
Ekstrimitas suhu secara global tidak menunjukkan adanya tren yang signifikan
dalam variabilitas dari tahun ke tahun, namun beberapa penelitian menunjukkan
adanya penurunan signifikan pada variabilitas dalam satu tahun. Ada tren yang
lebih jelas menurunnya suhu rendah minimum pada beberapa wilayah yang berjauhan
dalam beberapa dekade belakangan. Perubahan signifikan tentang suhu tinggi
ekstrim yang tersebar di beberapa wilayah yang berjauhan tidak diamati. Ada
beberapa indikasi adanya penurunan variabilitas suhu harian di beberapa dekade
belakangan.

Seberapa pentingnya perubahan-perubahan ini dalam konteks
jangka panjang?

Data paleoklimatik sangat penting untuk membuat kita dapat
memperluas pengetahuan mengenai variabilitas iklim di luar apa yang telah diukur
oleh peralatan modern. Banyak fenomena alamiah yang sangat bergantung pada iklim
(seperti misalnya tingkat pertumbuhan sebuah pohon), dan sebagainya, menyediakan
‘catatan’ alamiah mengenai informasi iklim. Beberapa data paleoklimatik dapat
ditemukan pada berbagai sumber seperti lingkaran pada pohon, inti es,
batu-batuan, sedimentasi pada danau (termasuk fosil serangga dan data pollen),
speleothems (skalaktit dan sebagainya), dan sedimentasi laut.

Beberapa data ini, termasuk inti es dan lingkaran pada pohon memberikan juga
sebuah catatan kronologis mengenai bagaimana mereka terbentuk secara alami, dan
sehingga rekonstruksi iklim yang beresolusi tinggi dapat dilakukan berdasarkan
catatan-catatan ini. Namun demikian, tidak ada ‘jaringan’ yang komprehensif pada
data paleoklimatik seperti yang ada pada data liputan instrumental, sehingga
rekonstruksi iklim secara global seringkali sulit untuk didapatkan. Namun,
menggabungkan catatan-catatan berbagai tipe paleoklimatik yang berbeda bisa
membuat kita mengembangkan sebuah gambaran yang hampir global mengenai perubahan
iklim di masa lalu.

Untuk suhu musim panas di Kutub Utara, beberapa dekade terakhir kelihatannya
adalah suhu terhangat sejak setidaknya 1000M, dan pemanasan sejak akhir abad 19
belum pernah terjadi dalam 1000 tahun terakhir. Data yang lebih tua tidak cukup
untuk memberikan estimasi suhu wilayah yang akurat. Data pada inti es
menunjukkan bahwa pada abad 20 suhu cukup hangat di berbagai belahan dunia,
namun juga pentingnya pemanasan berbeda secara geografis, bila dilihat dalam
konteks variasi iklim pada milenium terakhir.

Perubahan yang besar dan cepat pada iklim mengubah sirkulasi atmosfer dan lautan
serta suhu, dan juga siklus hidrologis, terjadi sepanjang jaman es terakhir dan
sepanjang masa transisi menuju periode Holocene (yang terjadi sekitar 10.000
tahun yang lalu). Berdasarkan bukti tidak lengkap yang ada, perubahan
diproyeksikan akan berubah dari 3 hingga 7°F (1,5 - 4°C) sepanjang abad yang
akan datang akan menjadi sesuatu yang luar biasa dibandingkan dengan catatan
terbaik yang ada dari beberapa ribu tahun yang lalu.

Apakah terjadi peningkatan pada tinggi
permukaan laut?

Secara global tinggi permukaan laut mengalami
peningkatan sebesar 1 hingga 2 mm/tahun sepanjang 100 tahun terakhir, yang
secara signifikan merupakan angka yang lebih besar dibandingkan dengan angka
rata-rata sepanjang beberapa ribu tahun belakangan. Proyeksi peningkatan dari
tahun 1990-2100 adalah sebesar 0,09-0,88 meter, bergantung pada skenario rumah
kaca mana yang digunakan dan berbagai ketidak pastian secara fisik yang
menyebabkan terjadinya peningkatan tinggi permukaan laut dari berbagai sumber
air baik yang beku maupun tidak beku.

Apakah perubahan yang telah diamati dapat
dijelaskan menggunakan dengan faktor variabilitas alami?

Karena sistem iklim kita secara fundamental didorong oleh
adanya energi dari matahari, maka bisa dipastikan bahwa bila energi matahari
mengalami perubahan, maka iklim juga akan mengalami perubahan. Sejak adanya
pengukuran melalu media luar angkasa pada akhir tahun 1970an, energi yang keluar
dari matahari memang menunjukkan adanya variasi. Kelihatan ini merupakan
penegasan dari dugaan sebelumnya mengenai adanya siklus 11 (dan 22) tahun
radiasi.

Namun, dengan hanya 20 tahun pengukuran yang akurat, sulit untuk menyimpulkan
sebuah tren. Akan tetapi, dari catatan pendek yang kita miliki sejauh ini, tren
iradiasi matahari diperkirakan sekitar ~0,09 W/m2 dibandingkan dengan 0.4 W/m2
dari gas rumah kaca yang tercampur dengan baik. Ada banyak indikasi bahwa
matahari juga memiliki variasi dengan periode lebih panjang yang berpotensi
menyebabkan tingkat yang lebih tinggi dalam skala abad. Namun, ada juga ketidak
pastian yang cukup besar dalam memperkirakan iradiasi matahari di luar apa yang
dapat diukur oleh satelit, dan kontribusi dari iradiasi matahari secara langsung
lebih kecil daripada komponen dari efek rumah kaca. Kita masih harus membentuk
pengertian kita mengenai mekanisme alami yang menjadi kunci dari mekanisme iklim,
termasuk juga perubahan iradiasi matahari, untuk mengurangi ketidakpastian dalam
proyeksi kita dalam perubahan iklim di masa datang.

Sebagai tambahan selain perubahan energi dari matahari sendiri, posisi bumi dan
orientasi relatif terhadap matahari (orbit kita) juga sedikit bervariasi,
sehingga membawa kita lebih dekat atau lebih jauh dari matahari dengan siklus
yang dapat diduga (disebut siklus Milankovitch). Variasi dari siklus-siklus ini
dipercaya menjadi penyebab terjadinya jaman es di bumi. Yang paling penting
untuk terjadinya pembekuan (glasial) ada penerimaan radiasi di lintang utara
bagian atas.

Berkurangnya radiasi di bagian ini pada bulan-bulan musim panas menyebabkan
salju dan es tetap tertutup sepanjang tahun, sehingga pada akhirnya menyebabkan
timbulnya es yang permanen – atau batu es. Meskipun siklus Milankovitch
merupakan sesuatu yang sangat berharga sebagai suatu teori yang menjelaskan
terjadinya jaman es dan perubahan jangka panjang pada iklim, siklus ini hampir
tidak mungkin memiliki dampak yang lebih jauh pada siklus waktu sepanjang dekade
atau abad. Sepanjang beberapa abad, mungkin kita bisa mengamati efek dari
parameter orbital semacam ini, hamun untuk memprediksi perubahan iklim pada abad
21, perubahan ini akan jauh lebih tidak penting daripada kekuatan radiasi dari
gas yang berasal dari efek rumah kaca.

Apa yang akan terjadi di masa depan?

Karena adanya berbagai kompleksitas di atmosfer, alat yang
paling berguna untuk mengukur perubahan di masa depan adalah ‘model iklim.’ Ini
adalah model yang dibuat di komputer berdasarkan hitungan matematis yang
merupakan simulasi, dalam tiga dimensi, perilaku iklim, komponen serta
interaksinya. Model iklim juga terus menerus diperbaiki berdasarkan pemahaman
kita serta peningkatan kecanggihan alat komputer, meskipun secara definisi,
sebuah model komputer adalah suatu simplifikasi dan simulasi dari keadaan nyata,
yang artinya bahwa model tersebut merupakan kalkulasi secara kasar dari sistem
iklim nyata. Langkah pertama dalam membuat model proyeksi dari perubahan iklim
adalah dengan mula-mula melakukan simulasi tentang iklim saat ini dan
membandingkannya dengan pengamatan.

Bila model ini dianggap cukup baik untuk mewakili iklim modern, kemudian
beberapa parameter tertentu diubah, seperti konsentrasi gas rumah kaca, yang
akan membantu kita memahami bahwa iklim akan berubah sebagai respons dari
perubahan tersebut. Oleh karena itu, proyeksi perubahan iklim masa depan sangat
bergantung pada sebaik apa model iklim komputer tersebut mensimulasikan iklim
dan pada pemahaman kita mengenai mana fungsi-fungsi pendorong yang akan berubah
di masa datang.

Laporan Khusus IPCC mengenai Skenario Emisi menentukan jumlah gas rumah kaca
yang mungkin akan terbentuk (dan pendorong lainnya) berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan lain seperti pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi,
efisiensi energi dan sejumlah faktor lainnya. Laporan ini mengungkapkan sejumlah
skenario pendorong yang cakupannya cukup luas, dan akibatnya menghasilkan iklim
masa datang dengan berbagai variasi yang luas.

Berdasarkan tingkat pendorong yang ada dalam skenario terserbut, dan dengan
menghitung ketidakpastian yang terjadi dalam kinerja model iklim, IPCC
meramalkan peningkatan suhu secara global sebesar 1,4 -5,8°C dari tahun
1990-2100. Namun demikian, angka rata-rata secara global ini akan dikombinasikan
dengan berbagai response regional yang sangat bervariasi, seperti kemungkinan
apakah wilayah daratan akan lebih cepat memanas dibandingkan dengan suhu lautan,
terutama wilayah daratan yang berada di garis lintang utara bagian atas (dan
sebagian besar terjadi di musim dingin).

Curah hujan juga diramalkan akan mengalami peningkatan sepanjang abad 21,
terutama pada garis lintang utara bagian tengah, meskpun tren ini mungkin lebih
bervariasi di daerah tropis.

Lapisan dan lautan es juga diramalkan akan terus mengalami penurunan di wilayah
kutub utara, dan sungai es serta puncak-puncak gunung es diramalkan akan terus
menurun. (WM)Sumber:

http://lwf.ncdc.noaa.gov/oa/climate/globalwarming.html
Pemanasan Global
http://geo.ugm.ac.id/archives/28
admin on October 2, 2007
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global – termasuk Indonesia – yang terjadi pada kisaran 1,5–40 Celcius pada akhir abad 21.
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut (sea level rise) dan banjir.
Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.
Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
• Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi 3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove ± 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
• Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta Utara.
• Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ; (c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih ‘buram’ apabila dikaitkan dengan keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum, Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun daerah-daerah di Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan pada Gambar 1 berikut.
• Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai 202.500 ha.
• Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun dari The Georgetown – International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun waktu 1997 – 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5 juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan hutan – khususnya yang berfungsi lindung – akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu, meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang.
Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.
Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan lindung (termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman, dsb). Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku.
Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat merespons isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan perubahan lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :
• globalisasi ekonomi dan implikasinya,
• otonomi daerah dan implikasinya,
• penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,
• pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan,
• pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,
• daur ulang hidrologi,
• penanganan land subsidence,
• pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta
• pemanasan global dan berbagai dampaknya.
Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu masukan yang signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN khususnya bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir khususnya pada kota-kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c) pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d) tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya keterkaitan fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pada pesisir Barat Papua
Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang memiliki peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta, Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai. (Selengkapnya mohon periksa Tabel 1 pada Lampiran).
Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka air laut dan banjir meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal. (selengkapnya mohon periksa Tabel 2 pada Lampiran).
Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan prasarana wilayah yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak kenaikan muka air laut dan banjir, seperti :
• sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung sepanjang ± 1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang ± 900 km) serta sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang ± 250 km).
• beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas (Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta pelabuhan Makassar.
• Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur dan Sulawesi bagian Selatan.
• Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Semarang.
• Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai) perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.
Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC (1990) sebagai berikut :
• Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai. Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
• Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculture menjadi budidaya air payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
• Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifat soft structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip “working with nature”.
Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai, mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah. Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.
Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu – khususnya hutan tropis - perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan pesisir yang berada di kawasan hilir.
Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam kerangka kebijakan penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun demikian, selain penyiapan RTRWN ditempuh pula kebijakan untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci.
Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut :
• Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
• Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants) dari ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya.
• Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).
• Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang, maka diperlukan dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM) untuk percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah - khususnya untuk penataan ruang dan pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public awareness campaig, (d) penyiapan dukungan sistem informasi dan database pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, serta (e) penyiapan peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas.
Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semang• at otonomi daerah yang disusun dengan memperhatikan faktor-faktor berikut :
• Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang kawasan pesisir.
• Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan.
• Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik lintas wilayah
• • Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen – baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk menghindari kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang ‘seimbang’ antar unsur-unsur stakeholders.